Hari ini
matahari pagi Yogyakarta memancarkan sinar paginya dengan penuh keceriaan. Sama
dengan suasana penuh suka cita di gedung pertemuan Universitas Gadjah Mada yang
tengah dipercantik oleh petugas. Bukan hanya itu kecerian matahari menular juga
ke hati seorang lelaki yang lumayan ganteng dan gagah. Sepertinya lelaki ini sedang
merasakan euforia hari wisuda di
kampus kebanggaannya ini. Menyembunyikan kebahagiaan dalam acara ini sangat
mustahil, maklum saja untuk mengikuti acara ini perlu perjuangan yang tidak
mudah. Tentu tak ada kata lain untuk melukiskannya selain kebahagiaan. “Ayah,
Ibu ayo kita foto dulu, buat kenang-kenangan”. Katanya pada ayah dan ibunya
setelah acara yang istimewa tersebut berakhir. Ayah dan ibunya mengikuti
langkah putra kebanggaannya ini. Mereka tahu hati anaknya sedang berbunga dan
hanya mengikuti saja apapun keinginannya. Bukan hanya keluarga ini saja yang
terlihat bahagia, semua yang ada disana saat itu merasakan kebahagiaan.
***
Malam mulai
menyapa keluarga pak Arief Modjo yang cukup dikenal di komplek perumahan yang
cukup elit di daerah kota Yogyakarta. Keluarga ini cukup disegani karena
ketaatan pak Arief dan keluarga yang tidak pernah melewatkan sholat berjamaah
di mushola komplek. Seperti biasa, menjelang maghrib mereka sekeluarga selalu
meluangkan waktu mereka untuk sholat maghrib berjamaah. Keluarga ini
beranggotakan 4 orang dengan dua anak laki-laki. Meskipun dikenal dengan
ketaatannya, ternyata ada salah satu anak dari pak Arif ini yang tidak terlalu
taat beribadah dan jarang ikut sholat jamaah di mushola. Nampaknya hari ini dia
juga tidak menyusul ayah, ibu dan adiknya ke mushola, dia baru pulang dari
acara kumpul bersama teman-temannya merayakan kelulusan mereka hari ini. Lelaki
ini baru saja diwisuda hari ini dan baru saja mendapatkan gelar sarjana hukum
Universitas Gadjah Mada. Akhir-akhir ini Faruq, orang-orang biasa memanggilnya
memang jarang sekali terlihat berjamaah di mushola, tapi malah sering hang out bersama teman-teman
seorganisasi kampusnya. Dia termasuk mahasiswa yang aktif di kampusnya.
Sebenarnya kegiatannyapun juga bukan kegiatan yang negatif, namun kebiasaan
barunya yang sering melewatkan sholat jamaah dan juga membuatnya menunda-nunda
waktu sholat membuat cemas ayahnya. Pak Arief yang memang memiliki darah
seorang priyayi di desanya dulu, di Bantul menginginkan anak sulungnya ini
menjadi seorang yang berpendidikan tinggi dan juga beragama yang kuat. Nama
Umar Al-Faruq yang diberikan beliau ke anaknya menyimpan harapan anaknya akan menjadi seorang
pembeda antara yang bathil dan benar. Apalagi anaknya yang sarjanaa
hukum, tentunya nanti akan berpeluang menjadi seorang pengacara, beliau tidak
mau anaknya menjadi pengacara yang hanya pintar ilmu pengetahuan saja tapi
bobrok akalnya. Untuk mengatasi semua kecemasan itu pak Arief dan istrinya
telah merencanakan sesuatu untuk Faruq anaknya.
***
Hari ini memang
hari yang membahagiakan bagi Faruq, setelah acara wisuda siang tadi dia
langsung merayakan kelulusannya dengan rekan-rekan seorganisasinya. Saking
asyiknya bercengkrama dengan teman-temannya, membuat Faruq lupa waktu, imbasnya
dia telat pulang ke rumah, hingga baru sampai rumah saat adzan maghrib. Dia
sadar bahwa kelakuannya ini akan memancing ayahnya marah. Sejak kecil dia sadar
ayahnya memang sedikit otoriter dalam mendidik anak-anak lelakinya. Banyak
peraturan yang harus dipatuhinya. Meski begitu tak jarang Faruq memberontak
ayahnya, termasuk yang sedang dilakukannya sekarang. Tidak apa memberontak toh ini hari bahagiaku, sehari gak nurut tak
apalah. Gumamnya dalam hati saat masuk kedalam rumah yang sedang kosong
karena penghuninya sedang sholat jamaah di mushola.
Ternyata yang
dipikirkannya salah, malam ini kegalauan mulai muncul dalam dirinya. Setelah
selesai bersih-bersih dan juga sholat maghrib serta makan malam hangat keluarga,
ayahnya memanggilnya untuk masuk ke
ruang
kerjanya. Mulai timbul kecemasan dalam hati Faruq, oh men, pasti ini Ayah bakal ngomel, batinnya. Saat
makan malam tadi ada sedikit keanehan dari ayahnya, beliau terlihat lebih
banyak diam dan semua itu semakin membuat Faruq was-was. “Ruq, Faruq kesini
sebentar Le[1].
Ada yang ayah ingin bicarakan”.
Teriak ayahnya dari ruang kerjanya, membuat Faruq siaga untuk mendengarkan
segala ocehan ayahnya. “enggeh[2]
Ayah”. Jawabnya dengan nada pasrah. Dan sambil melangkahkan kakinya dari ruang
nonton TV ke tempat kerja ayahnya. Di sofa sebelahnya nampak adek semata
wayangnya yang kini sedang duduk di bangku SMP kelas 3 memberikan semangat kakaknya
dengan mengepalkan tangan di depan dadanya sambil berucap tanpa suara yang
terlihat jelas berkata semangat Abang. Faruq
yang pasrah membalasnya dengan senyum dan mengepalkan tangan di depan dadanya
persis seperti gerakan adiknya.
Persis seperti
apa yang diperkirakannya, kali ini ayahnya benar-benar marah. Imbasnya dia
harus menuruti keinginan ayahnya untuk mengirimnya ke pondok pesantren di
Bantul. Tidak ada alasan bagus untuk bisa menolak keinginan ayahnya. Jadi,
dengan sedikit keterpaksaan, dia menuruti keinginan ayahnya, karena dia tahu
apapun yang dilakukan ayahnya tidak akan pernah salah, semua bermanfaat untuk
dirinya. Impiannya untuk menjadi pengacara muda harus sedikit tertunda, dan dia
harus sedikit legowo[3]
dengan keputusan ayahnya ini yang ternyata sudah jauh-jauh hari menyiapkan
semuanya. Minggu depan Faruq harus berangkat ke pondok pesantren.
***
“Pondok
Pesantren Mamba’ul Hikmah”, papan nama yang tertulis jelas di depan sebuah
bangunan yang bertipe bangunan kuno khas Yogya telah berada di depan mata
Faruq. Welcome dunia baru ku,
bersahabatlah. Batinya
sambil menatap papan nama tersebut.
“ini Le, pondok
mu, belajar yang sungguh-sunggah disini ya Le”.
Ucapan ayah Faruq menyadarkan Faruq dari keasyikannya berkelana membayangkan
akan seperti apa dia disini. Dia hanya menoleh kearah ayahnya dan mengangguk InsyaAllah yah, tapi gak janji. Batinnya.
Dia dan ayahnya
masuk kedalam wilayah pondok, yang ternyata hanya ada santri laki-laki saja,
sepertinya pondok ini khusus untuk santri laki-laki. Suasana di pondok ini tenang, jauh dari keramaian
dan terlihat damai, orang-orang
yang ada di dalamnya semua memakai sarung dan tengah sibuk melakukan aktivitas
mereka masing-masing. Mereka terlihat sangat
sederhana, jauh dari kesan kota. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Faruq,
karena notabene, dia tidak pernah membeda-bedakan orang-orang dari kota maupun
desa, dari kaya maupun miskin dari berpendidikan maupun tidak, di matanya semua
sama hanya iman dan ketaqwaan pada Tuhan yang membedakan derajat mereka. Saat
perjalanan ke kantor pengurusnya, Faruq mengamati sekilas orang-orang yang
dilaluinya, dia melihat seorang yang sejak tadi memperhatikannya dari jauh,
yang sedikit membuatnya tidak nyaman.
Kenapa dia memperhatikanku seperti itu
ya? Ada yang salah dengan penampilanku batin Faruq sambil memeriksa busana
yang tengah dipakainya. Tak ada kesalahan yang ditemukannya dan dia berusaha
mengabaikan orang tersebut dan masuk ke kantor pengurus.
Beberapa menit
mengurusi administrasi di kantor dan berbincang dengan pak Kyai Sulaiman, Faruq
diantarkan oleh seorang seniornya yang dipanggil
pak
Kyai dengan nama Ibrahim ke
kamarnya dan sekaligus waktunya Faruq berpamitan dan berpisah dengan ayahnya.
Berjalan sekitar 500 meter Faruq melihat kamar yang terlihat cukup besar. “Assalamu’alaikum,
selamat siang semuanya. Perkenalkan ini teman baru kalian yang akan menempati
kamar ini. Mohon kalian bisa mengenalnya dengan baik. Perkenalkan namamu
sendiri”. Kata Ibrahim senior Faruq, sambil menyikut Faruq yang sedang
mengamati ruangan barunya. Sedikit kaget Faruq mengangguk, dan mulai
memperkenalkan diri. “Selamat siang, perkenalkan nama saya Umar Al- Faruq...”.
Mendengar
namanya disebut seisi ruangan yang berjumlah 5 anak itu tertawa dan sedikit
menjadi gaduh. “hei, kenapa kalian tertawa?” mendengar gertakan Ibrahim seisi
ruangan kembali diam meski sebagian dari mereka masih menahan tawa sambil
menutup mulut.“Lanjutkan!” kata Ibrahim kembali menyuruh Faruq. Sambil
mengangguk “Iya Bang, kalian bisa memanggilku Faruq, saya dari kota. Mohon
bantuan dan kerjasama kalian ya”. Kata Faruq tegas. “oke baiklah, pendidikan
terakhirmu apa?” tanya Ibrahim. “oh, saya baru lulus sarjana hukum di UGM
Bang”. Jawab Faruq sontak membuat seisi ruangan sedikit terbengong. “hmm, gitu.
Tapi ingat ya, gelar sarjanamu itu sekarang disini tidak berlaku lagi ya? Kamu
disini hanya murid baru yang tidak tahu apa-apa, dan aku sekarang jadi
seniormu, jadi kamu harus mematuhi peraturan pondok dan juga harus hormat
kepada senior-senior yang lain”. kata Ibrahim sedikit dengan nada sombong. “iya
baik Bang”. Balas Faruq singkat. “ya sudah, bereskan barang-barangmu, tempat
tidurmu di sana, di
sebelah Fikri. Kalian semua istirahat dulu, nanti jangan lupa sholat dhuhur
berjamaah dan langsung ngaji”. Kata Ibrahim sambil menunjuk salah satu sudut di
ruang itu dan kemudian pergi. “enggeh Bang”.
Seisi ruangan menjawab perintah Ibrahim dengan kompak.
Selepas Ibrahim
meninggalkan ruangan,
Faruq mulai mengangkat beberapa barangnya, dan tanpa komando, seisi kamar,
berbondong-bondong membantu Faruq mengangkat barang-barangnya. Faruq hanya
tersenyum dan berkata “terimakasih” kepada semuanya. Kemudian mereka saling
berkenalan dan mulai sedikit lebih akrab. Dalam kamar tersebut dihuni 6 orang
beserta Faruq. Mereka antara lain, Fikri yang tempat tidurnya tepat disebelah
Faruq, yang setelah di sadari dia yang tadi memperhatikan Faruq. Di sebelahnya
Fikri ada Alif, dan 3 orang yang tidurnya berhadapan dengan tempat tidur Faruq
ada Yahya, Fajar dan Ilham. Semuanya sangat ramah pada Faruq, sehingga tidak
terlalu mempersulit keadaan Faruq. Pada
awal-awal
dia sudah menemukan beberapa teman baru yang ternyata semuanya asyik untuk
diajak bicara dan juga masih seumuran dengan Faruq. Sambil menata barang-barang
bawaannya mereka bercakap-cakap. “Ruq, kamu kok bisa masuk pesantren ini sih?
Kan kamu udah sarjana” pertanyaan terlontar dari Alif. Sedikit membuat Faruq
bingung menjawabnya karena dia juga tak tahu apa alasan ayahnya mengirimnya
ketempat ini. “Entahlah Lif, aku ikut apa kata ayahku aja”. Jawab Faruq
sekenanya. “kamu gak berencana jadi pengacara atau hakim gitu Ruq, kan sarjana
hukum UGM pula?” kali ini pertanyaan dari Ilham. “eh? Tentulah. Itu impianku
dari dulu, tapi kayaknya harus di tunda dulu deh Ham, habis mondok disini”.
Jawab Faruq sambil menata baju-bajunya. “kamu keren Ruq, aku dari dulu pengen
kuliah di UGM dan di jurusan yang sama kayak kamu, tapi gak jadi, kurang biaya
dan otakku juga pas-pas an”. Kata Fikri yang sontak membuat seisi ruang melebur
dalam tawa. “alah Fik, biasa aja, sama aja kali. Aku masih junior disini. Aku
masih jauh di bawah kalian semua. Seperti kata Bang Ibrahim tadi, gelarku gak
berlaku disini”. Kata Faruq sambil menyentuh pundak Fikri. “alah kamu kok manut[4]
banget sama Ibrahim itu”. Kata Yahya tiba-tiba, sambil menulis beberapa kitab Ilham
yang semalam dia tinggalkan karena tertidur di kelas. “iya Ruq, gak usah manut-manut banget sama dia, dia
sebenarnya seumuran dengan kita, hanya saja dia lebih pintar sedikit dan lebih
lama mondok disini, dia jadi santri kepercayaan Abah Sul”. Kata Fajar. “bener
kata Fajar. Ibrahim itu jadi sedikit sombong dan gila hormat sejak dia diangkat
jadi ketua santri di pondoh oleh Abah”. Kata Alif sedikit dengan nada tidak
suka. “heh, kalian di belakang Bang Ibrahim berani bilang gitu, waktu di
depannya, apa yang kalian lakukan manut apapun
ucapannya juga kan”. Kata Fikri. “haha, dia kan tukang ngadu ke Abah, takutlah
kita. Ya nggak?”. Kata Ilham sambil meminta dukungan keempat temannya. Semua
tidak menjawab hanya saling mengangguk dengan semangat. “hei sudah deh
teman-teman jangan membicarakan dia di belakang, dosa kan kalau membicarakan
orang lain dibelakang? Mending kita siap-siap untuk sholat, nanti dimarahi
kalau telat” kata Faruq mencairkan suasana yang sedikit memanas. Padahal
sebenarnya dalam hatinya dia mengiyakan kata-kata teman barunya kalau sikap
Ibrahim sedikit sombong tadi. Tapi dia pikir memang dia masih junior dan tidak
tahu banyak tentang agama jadi wajar lah.
Setelah selesai sholat dhuhur berjamaah, semua
santri di wajibkan sungkem pada Abah Sul, sebutan yang berikan santri-santrinya
untuk memanggil Kyai Sulaiman. Semua santri antri untuk sembah sungkem pada
Abah seperti yang dilakukan oleh raja-raja jawa jaman dulu yang saat ini masih
dilakukan di keraton oleh keluarga sultan dan masih sarat akan nilai
feodalisme. Ada ketidak nyamanan dari hati Faruq, bagi dia sekarang seharusnya
feodalisme sudah tidak ada lagi, apa lagi islam juga mengajarkan untuk bersikap
adil terhadap sesamanya, dan menganggap semuanya sederajat, hanya kadar iman
dan taqwa kepada Allah yang bisa jadi pembeda diantara individu dengan individu
lainnya. Kenapa hal ini masih terjadi di
pesantren sih? Menghormati gak begitu juga kan?. Batinnya. Faruq menahan
semua yang ada dipikirannya, karena saat ini adalah hari pertama dia di sini,
dia tidak mau merusak semuanya sedini ini. Setelah dia dan Fikri keluar dari
masjid, ada hal yang membuatnya penasaran dan dia menanyakan pada Fikri dalam
perjalanan ke kelas untuk mengikuti kegiatan mengaji perdananya. “eh Fik, harus seperti itu ya setiap habis
sholat”. Kata Faruq. “apa sih?” jawab Fikri yang sedikit tidak memperhatikan pertanyaan
to the point Faruq. “itu tadi. Sembah
sungkem ke Abah kayak sembah sungkem ke raja”. Penjelasan Faruq. “oalah, itu.
Iya kan untuk menghormati Abah”. Jawab Fikri santai sambil berjalan menyusuri
koridor yang menghubungkan tiap-tiap ruang di pesantren. “menghormati? Apa gak
ada cara lain yang tidak menunjukkan feodalisme?”. Kata Faruq. “entahlah Ruq,
aku ngikut aja. Udah ayo kita masuk ke kelas. Udah sampai kita”. Kata Fikri
sambil menunjukkan ruang kelas yang di dalamnya sudah banyak santri yang
menunggu sang ustadz datang.
Terpaksa Faruq
harus menahan rasa penasarannya dan mulai mengikuti Fikri masuk kelas menuju
lambaian tangan dari Yahya yang ternyata sudah berada disana bersama Ilham,
Fajar dan Alif. Beberapa menit mereka menunggu seorang lelaki dewasa yang
terlihat tegas dan gagah memasuki ruangan. “Assalamu’alaikum ya thilmidzi? Kaifa khaluqum?[5]”
katanya dengan lantang. “Wa’alaikumsalam ya
ustadzi, ana bikhoir wal hamdulillah6”. Jawab murid kompak. “Alhamdulillah
kalau begitu. Kita lanjutkan kitab kemarin ya? Eh tunggu, sepertinya ada santri
baru. Ma ismuka?[6]”.
katanya sambil menunjuk Faruq. Sontak Faruq kaget, dan dia tidak tahu sama
sekali apa yang di maksud ustadz itu. Fikri membisikkan maksud dari ustadz yang
biasanya para santri memanggilnya ustadz Cokro. Faruq mulai paham apa yang di
maksudkan ustadz Cokro dan menjawabnya dengan santai. Karena sejak awal dia
sedikit malas mengikuti kelas. “Faruq Ustadz. Umar Al- Faruq”. Jawab Faruq. “wah,
bagus sekali namamu, sang pembeda, orang tuamu pasti punya maksud tersendiri
menamakanmu dengan nama itu nak”. Katanya dengan senyum lebar. “maksud Ustadz?”.
Tanya Faruq yang tidak paham maksud ustadznya. “itu namamu, artinya sang
pembeda. Jangan-jangan Kamu tidak paham maksud namamu nak?” tanya ustadz Cokro
lagi. Faruq tersenyum lebar mengiyakan apa yang dikatakan ustadz Cokro. “ckckck
anak jaman sekarang. Lantas kamu tahu tidak siapa Umar Al- Faruq itu?”.
Tanyanya lagi. Faruq menggeleng “mboten[7]
Ustadz. Hehe”. “Astagfirullah Le, kok
bisa gak paham. Kamu itu bagaimana? Padahal tokoh terkenal dan berpengaruh
jaman Khulafaur Rasyidin lo? Yang lain tahu siapa Sayyidina Umar bin Khattab?”.
Kata ustadz Cokro yang ini ditujukan ke semua santri. “Khalifah kedua setelah Sayyidina
Abu Bakar Ash Shiddiq Ustadz”. Jawab Fikri yang duduk disebelah Faruq. “na’am[8]
benar sekali kata Fikri. Dia Khalifah yang di juluki Al- Faruq karena
ketegasannya juga keadilannya dalam membedakan yang benar dan bathil. Dia itu
Khalifah yang hebat, banyak jasanya dalam Islam. Contoh pemimpin yang baik dan
harus dimiliki sebuah negara jika ingin jadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (Negeri yang Baik dan Tuhan
Maha Pengampun). Dermawan dan mementingkan rakyatnya dari pada dirinya
sendiri...” penjelasan panjang ustadz Cokro yang didengarkan dengan seksama
oleh para santri.
Penjelasan
panjang ustadz Cokro yang lugas dan jelas membuat Faruq terkesima, dan menjadi
mengidolakan Sayyidina Umar.
Sejak awal dia juga telah
mengagumi HOS Tjokroaminoto. Dia mengagumi mereka karena menurutnya apa yang
dia pikirkan sama dengan yang mereka pikirkan. Kesan pertamanya terhadap ustadz
Cokro merupakan ustadz yang baik dan bersahabat.
Setelah beberapa
hari Faruq mendapatkan ilmu dan di ajar oleh ustadz Cokro, muncul kekaguman dia
pada ustadznya itu. Beliau tidak pernah membuat sekat untuk membedakan kedudukan
santri dengan ustadz, menurut beliau hanya Iman dan Taqwa yang menjadi pembeda.
Beliau juga mengajarkan nilai nasionalisme secara Islam. Dan sepertinya karena
ustadz ini Faruq menjadi lebih semangat lagi dalam menimba ilmu di pesantren
dan kini dia jadi salah satu santri yang dekat dengan ustadz Cokro, karena
mereka sering berdiskusi diluar jam pembelajaran.
***
Hari ini Faruq
berencana untuk menemui ustadz Cokro untuk menanyakan suatu hal yang selama ini
mengganjal di pikirannya tentang praktik feodalisme di sini dan juga adanya
indikasi bahwa pesantren ini tidak menerapkan nilai nasionalisme, malah
cenderung mendukung tentang isu Negara Islam yang akhir-akhir ini marak
diperbincangkan. Indikasi ini dapat dicium Faruq dari beberapa ceramah Abah Sul
akhir-akhir ini. Dan semuanya membuat kecemasan tersendiri di hati Faruq. Dia
ingin mendiskusikan dengan Ustadz Cokro, karena menurutnya hanya Ustadz Cokro
yang sependapat dengannya. Dia menghampiri ustadz Cokro di kantor dan saat itu
dia melihat ustadz Cokro sedang berbicara dengan seorang perempuan yang
terlihat seumuran dengannya. Tanpa ragu dan berpikiran yang tidak-tidak Faruq
mendekati ustadz Cokro yang sedang berbincang dengan perempuan itu. Semakin
dekat, semakin terlihat bagaimana paras perempuan itu yang menurut Faruq sangat
cantik dan juga terlihat anggun meski dengan balutan baju syar’inya perempuan
itu tetap seperti bidadari bagi Faruq. Kecantikan perempuan itu sampai membuat
Faruq terbengong-bengong tanpa sadar terus memandangi perempuan itu, hingga
akhirnya teguran pak ustadz menyadarkan Faruq. “eghm, ingat maksiat mata Le”. Goda Ustadz Cokro yang langsung
membuat pipi Faruq dan perempuan itu merona. “Astaghfirullahhaladzim. Maaf,
maaf”. Kata Faruq sambil memalingkan muka, menghindari bertatapan dengan
perempuan itu. “kalau begitu Khumairah permisi dulu Ustadz”. Kata perempuan
itu, berpamitan pada Faruq dan Ustadz Cokro secara tiba-tiba seakan tahu kalau
ada kepentingan antara Faruq dengan Ustadz Cokro. “ada perlu apa Le?”. Tanya Ustadz Cokro sepeninggal
Khumairah. “yang tadi itu siapa ustadz?” tanya Faruq yang sedikit lupa pada
tujuan awalnya menemui ustadz Cokro. “oalah, tadi itu Khumaira putrinya Abah.
Hayo kenapa Le? Demen[9]??”
goda ustadz Cokro yang langsung membuat Faruq salah tingkah. “haha ustadz ada
aja. Cantik sih ustadz, sholehah juga ya. Tapi apa pantas sih ustadz, aku kan
hanya seperti ini”. Kata Faruq merendah. “ngomong apa to kamu Le, jodoh itu Gusti Allah yang ngatur,
kita gak ada yang tahu rahasia dibaliknya. Jangan merendah gitu, Ustadz gak
suka sama orang yang merendah diri, rendah hati boleh, tapi jangan rendah
diri”. Kata Ustadz Cokro sedikit memarahi Faruq atas sikapnya yang merendah. “Enggeh Ustadz, maaf. Sudah deh Ustadz
jangan bahas wanita lagi, nanti kalau jodoh pasti dekat”. Kata Faruq. “iya,
iya, tadi kamu kesini mau bahas apa Le?”.
Kata Ustadz Cokro memulai perbincangan.
Faruq pun
menjelaskan kedatangannya menemui Ustadz Cokro, dia membahas tentang praktik
feodalisme yang terjadi di pondok dan juga indikasi rencana membentuk Negara
Islam, yang akhir-akhir ini di bahas Abah saat ceramah di masjid. Ustadz Cokro
sebenarnya sudah mencium Negara Islam itu sejak dulu, namun karena posisinya
yang tidak begitu berpengaruh di pondok pesantren ini, akibatnya apapun yang
dilakukan beliau tak ada artinya. Faruq jadi tambah cemas, dia takut akan
hilang rasa nasionalisme di pondok ini dan hal itu pasti akan berdampak buruk
nantinya bagi kedaulatan Indonesia. Ustadz Cokro hanya bisa menasehati Faruq
untuk tidak bertindak gegabah dan harus penuh perhitungan. Apapun yang
dikatakan Ustadz Cokro, Faruq selalu menurutinya. Apalagi ustadz Cokro juga
mengatakan bahwa ternyata Khumaira gadis yang telah meluluhkan hatinya secara
diam-diam juga tidak menyukai gaya ayahnya dalam memimpin pondok pesantren dan
juga tidak sependapat dengan pendapat ayahnya tentang pembentukan Negara Islam
membuat Faruq jadi semakin semangat untuk menegakkan kekeliruan yang terjadi di
pesantren.
***
Teman-teman
Faruq tak ada yang berani bertindak menegakkan hal yang salah di pesantren ini
meskipun sebenarnya mereka tahu kalau hal ini tidak benar. Sudah
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan Faruq tinggal di pesanren dan menahan
pendapatnya setiap Abah berceramah tentang Negara Islam dan juga praktik
Feodalisme yang berlaku di pesantren ini. Hari ini Faruq dengan tegas akan
bertindak, dia berencana akan membantah apa yang dikatakan Abah saat ceramah
jika itu menyinggung Negara Islam. teman-teman sekamarnya sudah mengingatkan
bahwa tindakan yang dilakukannya akan berdampak buruk pada dirinya sendiri,
yang akhir-akhir ini menjadi salah satu santri yang di waspadai dan disoroti
para senior terutama Ibrahim. Akhir-akhir ini Faruq sering melanggar aturan
yang dibuat Ibrahim yang menurutnya mengandung praktik feodalisme dan cenderung
tidak adil.
Beberapa hari
yang lalu, Fikri teman sekamarnya melakukan kesalahan karena lupa tidak memberi
hormat (membungkuk) saat bertemu dengan seniornya saat berjalan. Dia langsung
di takzir[10]
disuruh membersihkan kamar mandi. Faruq geram hanya karena masalah sepele
seperti itu Fikri harus menerima hukuman. Akhirnya dengan kebaraniannya dan
juga sikapnya yang sedikit grusa-grusu[11]
kalau sedang emosi,
Faruq memberanikan diri memprotes kebijakan yang di buat oleh Ibrahim.
Akibatnya dia sendiri juga mendapatkan hukuman.
Hari ini seperti
biasa setelah selesai sholat maghrib Abah selalu bercermah untuk mengisi waktu
sekaligus menunggu sholat isya, dan seperti yang diduga Faruq, Abah membahas
tentang Negara Islam dan spontan Faruq pun mengangkat tangan dan mulai angkat
bicara menentang semua yang dikatakan Abah, menyampaikan semua pandangannya
tentang pentingnya menjaga Nasionalisme, baik itu di lingkungan pesantren
maupun di luar pesantren dan juga ketidak nyamanannya terhadap peraturan yang
mengharuskan sembah sungkem setelah selesai sholat. Mendengar apa yang
dikatakan Faruq Abah sedikit menunjukkan bahwa beliau tidak suka dengan apa
yang dikatakan Faruq, beliau meminta Faruq untuk ke kantornya setelah selesai
sholat isya. Habis sudah ini aku. Batinnya.
“Assalamu’alaikum”. Dengan memberanikan diri Faruq masuk ke kantor Abah. “Wa’alaikumsalam,
masuk”. Balas Abah dengan nada dingin. “ada apa Abah memanggil saya?”. Tanya
Faruq mencoba polos, padahal sebenarnya dia sudah tahu apa yang akan
dibicarakan Abah. “maksud kamu apa tadi Le?
Kamu mau mulai menentang Abah?”. Kata Abah to
the point. “mboten Bah, sama
sekali tidak ada niat Kulo[12]
menentang Abah, semuanya murni apa yang saya pikirkan, dan saya hanya berusaha
menyampaikan pendapat” kata Faruq tegas. “menyampaikan pendapat. Pangkat mu apa
di sini Le?”. Kata Abah. “enggeh memang kulo hanya santri di sini Bah, tapi Negara kita kan Negara
Demokrasi semua punya hak untuk menyampaikan pendakan kan Bah. Saya hanya tidak
setuju dengan gagasan Abah tentang pembentukan Negara Islam, Indonesia adalah
Negara Kesatuaan Republik Indonesia, tidak bisa dipecah menjadi Negara Islam,
Kristen atau lain-lainnya”. kata Faruq berapi-api. “hmm sekarang kamu berani
menggurui Kyai mu ya Le?”. Kata Abah
yang juga sedikit
terpancing emosi namun masih terlihat tenang. “mboten Bah...”. Jawab Faruq yang terpotong oleh kedatangan sesorang
dengan tiba-tiba di ruangan. “bohong Bah, ada maksud tersembunyi dari apa yang
dilakukannya Bah. Dia ingin mempengaruhi santri-santri di sini untuk berani
menentang Abah”. Kata Ibrahim yang tiba-tiba masuk keruangan. “bener itu Le? Sebenarnya apa yang salah dari Abah,
kok kamu mencari orang
untuk menentang Abah. Seharusnya kalau kamu tidak suka dengan Abah sejak awal
kamu tidak usah masuk pesantren ini. Sepertinya tempat ini tidak sesuai dengan
orang kota sepertimu Le. Lebih baik
kamu pulang”. Kata Abah masih dengan wajah cool
namun sedikit terlihat jelas kalau sedang marah. “tapi Bah, mboten. Bukan itu maksud saya...” kata
Faruq pasrah. “uwes[13]
Le. Lebih baik kamu segera kembali ke kamar, membereskan barang-barangmu, dari
pada disini malah semakin membuat emosi Abah”. Kata Abah sambil berdiri dan
meninggalkan Faruq dengan Ibrahim di sebelahnya yang terlihat sedang tersenyum
puas bisa menyingkirkan Faruq yang berpotensi menggantikan jabatannya.
Dengan lunglai
Faruq meninggalkan Ruangan, menuju kamarnya untuk membereskan barang-barangnya.
Di sebuah lorong ditengah perjalannnya Ustadz Cokro memandangnya dengan
pandangan kasihan. Beliau seperti berkata, seharusnya
kamu harus bisa lebih berhati-hati Le, jangan terlalu Frontal. Faruq sudah
tidak bisa lagi memandang Ustadz yang sudah dianggap Ayah olehnya. Pandangannya
hanya sedikit penyesalan, bukan karena apa yang dikatakannya, tapi atas
tindakannya yang terlalu frontal dan tidak diperhitungkan. Apa boleh buat nasi
sudah jadi bubur. Faruq hanya pasrah dan berusaha menerima dengan Legowo. Tempat yang sudah mulai dia
sayangi dan teman-teman baru yang lebih baik dari teman-temannya dulu sekarang
harus dia tinggalkan, ditambah lagi Khumaira.
Sebulan setelah
Faruq pergi, dan suasana kamar Faruq menjadi sedikit berbeda. Teman-teman Faruq
sedikit murung akhir-akhir ini. Nampaknya keberadaan Faruq yang sebentar diantara
mereka mampu membuat kenangan manis antara mereka. Bahkan Ustadz Cokro pun juga
merasakan kehilangan murid yang mencerminkan sifat tokoh idolanya, Umar bin
Khatab dan HOS Tjokroaminoto. Sejak hari kepergian Faruq, Ustadz Cokro,
berkali-kali membujuk Abah Sul untuk memafkan Faruq, dan mau menerima dia lagi
untuk belajar di pesantren ini. Tapi sia-sia. Watak Abah yang keras sulit
sekali diluluhkan. Hanya ada satu cara lagi yang belum di coba, yaitu meminta
agar Khumaira membujuk ayahnya dan menyadarkan ayahnya. Abah terlihat sangat
menyayangi putri tunggalnya itu, jadi Ustadz Cokro berharap bisa mengembalikan
Faruq ke pesantren dengan bantuan Khumaira. Beliaupun memanggil Khumaira untuk
membicarakan rencananya, dan ternyata selama ini Khumaira juga telah berusaha
membujuk ayahnya sejak dia mendengar kabar Faruq dikeluarkan.
Awalnya tetap
saja sulit sekali membujuk Abah. Namun sekeras-kerasnya batu pasti dia akan
terkikis dengan usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus
oleh air. Akhir-akhir ini Abah Sul sudah mulai memikirkan apa yang dikatakan
putrinya Khumaira, tentang pendapat Faruq. Tampaknya beliau sedikit menyadari
apa yang dipikirkannya selama ini ada yang salah. Dan ditambah lagi suatu hari
beliau melihat Ibrahim santri yang selama ini begitu dipercayanya, bertindak
semaunya sendiri karena jabatan yang dimilikinya. Abah memberikan pelajaran
pada Ibrahim tentang perbuatannya yang salah itu. Beliau mulai sadar bahwa
praktik Feodalisme di pondok harus di hilangkan, derajat manusia dihadapan
Tuhan tidak ditentukan dengan kedudukan yang tinggi.
Dan pada
akhirnya, dengan usaha yang dilakukan setiap hari oleh Khumaira untuk mengubah
pola pikir ayahnya, Abah kini sadar bahwa semua yang dikatakan Faruq memang
benar. Beliau pun meminta Ustdz Cokro untuk meminta Faruq kembali menuntut ilmu
di pesantren ini. Tidak ada kesulitan Ustadz Cokro untuk menemukan Faruq, yang
selama ini dia tampung di rumahnya, karena Faruq tidak berani pulang ke rumah,
dia takut akan sangat mengecewakan Ayah dan Ibunya. Dan dengan kebesaran hati
Ustadz Cokro mau menampung Faruq beberapa bulan terakhir.
Setelah Faruq
kembali ke pesantren, Abah kini mulai bersikap terbuka pada pendapat santri
maupun ustadz-ustadznya jika ada kesalahan pola pikir dan juga menghilangkan
tradisi sembah sungkem dengan hanya bersalaman sebagai rasa hormat. Faruq
menjadi santri yang di sukai Abah karena keberaniannya sebagai pembeda. Diam-diam
Abah selalu memperhatikan perkembangan Faruq dalam belajar agama. Dan sering
memanggilnya ke kantor ataupun berkunjung ke rumah hanya untuk sekedar ngobrol.
Selain itu ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan oleh Khumaira karena bisa
melihat lelaki yang berhasil membuatnya susah tidur. Diam-diam ternyata
Khumaira dan Faruq menyimpan perasaan yang sama, saling mencintai dalam diam,
entah bagaimana akhirnya nanti.
Ustadz Cokro pun
juga semakin bangga dengan santri kesayangannya itu, perkembangannya dalam Ilmu
Agama semakin pesat, dia juga memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Melihat
perkembangan Faruq yang semakin cepat, Abah Sul meminta Faruq untuk
menggantikan posisi Ibrahim menjadi ketua santri. Semenjak kejadian Abah
mengetahui tindakan Ibrahim yang semena-mena dalam menggunakan jabatannya,
kepercayaan Abah terhadap Ibrahim langsung berkurang. Sebenarnya menjadi ketua
santri merupakan kesempatan besar Faruq untuk bisa mengubah pesantren ini
menjadi lebih baik dan nasionalis tapi tetap Religius. Teman-teman sekamarnya
juga Ustadz Cokro sangat mendukung hal tersebut. Tapi dengan santai Faruq
menolak tawaran yang diberikan Abah kepadanya. menurut dia masih ada cara lain
untuk menyebarkan nilai-nilai religius dan nasionalis bukan hanya dengan
menjadi seorang pemimpin. Faruq tetap ingin melanjutkan cita-citanya menjadi
seorang pengacara, kali ini pengacara yang tidak pintar pengetahuannya saja
tapi juga pengacara yang paham akan nilai Agama dan menerapkan nilai-nilai
islam dalam segala hal yang dilakukannya. Sesuai dengan keinginan Ayahnya sejak
awal dia dimasukkan ke pesantren.
Meskipun di
pesantren dia tidak menjadi pemimpin, banyak santri yang segan terhadapnya,
karena keberaniaannya dan ketegasannya juga sikap baiknya. Dia bisa di bilang
“Raja tanpa mahkota” jaman sekarang. Julukan yang diberikan untuk HOS
Tjokroaminoto, dan kini disandang oleh Faruq.
Bonus dari semua
sikap tegas dan berani serta kepandainnya,
menuntunnya mendapatkan jodoh. Pada suatu hari
Abah Sul yang menyadari perasaan putri tunggalnya terhadap Faruq,
beliau langsung memanggil Faruq ke kantornya. Panggilan dari Abah yang cukup
mendadak membuat Faruq berfikir apa dia punya kesalahan akhir-akhir ini. Namun
dengan tetap yakin dia melangkah menemui Abah. “Assalamu’alaikum Abah. Wonten nopo nggeh?[14]”.
ucap Faruq santai. “Wa’alaikumsalam. Sini Le
duduk. Langsung saja ya? Kamu kan sudah menolak tawaranku menjadi ketua
santri, sekarang kamu mau menuruti permintaanku?”. Kata Abah to the point. “enggeh Bah. Apapun itu?”. Jawab Faruq tegas. “kamu belum menikah
kan?”. Tanya Abah lagi. Pertanyaan Abah membuat Faruq semakin penasaran. “dereng[15] Bah”. Jawab Faruq singkat. “Alhamdulillah,
kalau begitu nikahi Khumaira”. Kata Abah lantang. Sontak membuat Faruq kaget
dan merasa sangat bahagia dan ingin loncat-loncat. Melihat Faruq terdiam Abah
kembali meyakinkan Faruq “Abah serius, kelihatannya Khumaira menyukaimu, dan
kamu pun juga suka padanya. Terlihat jelas saat kamu sering berkunjung ke sini
dan kalian saling berpandangan”. Subhanallah,
bagaimana Abah bisa tahu? Batinnya. Tak mau ambil pusing Dengan lantang Faruq
menjawab “InsyaAllah Faruq siap menjadi Imam buat Khumaira Bah”.
[1] Singkatan dari Tole: panggilan sayang orang tua di daerah Jawa ke anak
laki-lakinya yang artinya anak laki-laki
[2] Bahasa Jawa yang artinya Iya.
[3] Bahasa Jawa yang artinya Lapang dada
[4] Bahasa Jawa yang artinya nurut atau patuh
[5] Bahasa Arab yang artinya Assalamu’alaikum wahai murid-muridku? Apa
kabar kalian semua?
6 Bahasa
Arab yang artinya Wa’alaikumsalam pak, alhamdulillah baik-baik saja.
[6] Bahasa Arab yang artinya siapa namamu?
[7] Bahasa Jawa artinya tidak
[8] Bahasa Arab artinya Iya atau benar
[9] Bahasa Jawa yang artinya suka
[10] Istilah yang biasa digunakan di pondok pesantren untuk santri yang
melanggar aturan atau bisa jadi di sebut hukuman
[11] Bahasa Jawa yang artinya tergesa-gesa atau terburu-buru
[12] Bahasa Jawa yang artinya saya
[13] Bahasa Jawa yang artinya sudah
[14] Bahasa Jawa yang artinya ada apa ya?
[15] Bahasa Jawa yang artinya belum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar