MENU

Halaman

Jumat, April 22, 2016

cerpen: Raja Tanpa Mahkota


Hari ini matahari pagi Yogyakarta memancarkan sinar paginya dengan penuh keceriaan. Sama dengan suasana penuh suka cita di gedung pertemuan Universitas Gadjah Mada yang tengah dipercantik oleh petugas. Bukan hanya itu kecerian matahari menular juga ke hati seorang lelaki yang lumayan ganteng dan gagah. Sepertinya lelaki ini sedang merasakan euforia hari wisuda di kampus kebanggaannya ini. Menyembunyikan kebahagiaan dalam acara ini sangat mustahil, maklum saja untuk mengikuti acara ini perlu perjuangan yang tidak mudah. Tentu tak ada kata lain untuk melukiskannya selain kebahagiaan. “Ayah, Ibu ayo kita foto dulu, buat kenang-kenangan”. Katanya pada ayah dan ibunya setelah acara yang istimewa tersebut berakhir. Ayah dan ibunya mengikuti langkah putra kebanggaannya ini. Mereka tahu hati anaknya sedang berbunga dan hanya mengikuti saja apapun keinginannya. Bukan hanya keluarga ini saja yang terlihat bahagia, semua yang ada disana saat itu merasakan kebahagiaan.
***
Malam mulai menyapa keluarga pak Arief Modjo yang cukup dikenal di komplek perumahan yang cukup elit di daerah kota Yogyakarta. Keluarga ini cukup disegani karena ketaatan pak Arief dan keluarga yang tidak pernah melewatkan sholat berjamaah di mushola komplek. Seperti biasa, menjelang maghrib mereka sekeluarga selalu meluangkan waktu mereka untuk sholat maghrib berjamaah. Keluarga ini beranggotakan 4 orang dengan dua anak laki-laki. Meskipun dikenal dengan ketaatannya, ternyata ada salah satu anak dari pak Arif ini yang tidak terlalu taat beribadah dan jarang ikut sholat jamaah di mushola. Nampaknya hari ini dia juga tidak menyusul ayah, ibu dan adiknya ke mushola, dia baru pulang dari acara kumpul bersama teman-temannya merayakan kelulusan mereka hari ini. Lelaki ini baru saja diwisuda hari ini dan baru saja mendapatkan gelar sarjana hukum Universitas Gadjah Mada. Akhir-akhir ini Faruq, orang-orang biasa memanggilnya memang jarang sekali terlihat berjamaah di mushola, tapi malah sering hang out bersama teman-teman seorganisasi kampusnya. Dia termasuk mahasiswa yang aktif di kampusnya. Sebenarnya kegiatannyapun juga bukan kegiatan yang negatif, namun kebiasaan barunya yang sering melewatkan sholat jamaah dan juga membuatnya menunda-nunda waktu sholat membuat cemas ayahnya. Pak Arief yang memang memiliki darah seorang priyayi di desanya dulu, di Bantul menginginkan anak sulungnya ini menjadi seorang yang berpendidikan tinggi dan juga beragama yang kuat. Nama Umar Al-Faruq yang diberikan beliau ke anaknya menyimpan harapan anaknya akan menjadi seorang pembeda antara yang bathil dan benar. Apalagi anaknya yang sarjanaa hukum, tentunya nanti akan berpeluang menjadi seorang pengacara, beliau tidak mau anaknya menjadi pengacara yang hanya pintar ilmu pengetahuan saja tapi bobrok akalnya. Untuk mengatasi semua kecemasan itu pak Arief dan istrinya telah merencanakan sesuatu untuk Faruq anaknya.
***
Hari ini memang hari yang membahagiakan bagi Faruq, setelah acara wisuda siang tadi dia langsung merayakan kelulusannya dengan rekan-rekan seorganisasinya. Saking asyiknya bercengkrama dengan teman-temannya, membuat Faruq lupa waktu, imbasnya dia telat pulang ke rumah, hingga baru sampai rumah saat adzan maghrib. Dia sadar bahwa kelakuannya ini akan memancing ayahnya marah. Sejak kecil dia sadar ayahnya memang sedikit otoriter dalam mendidik anak-anak lelakinya. Banyak peraturan yang harus dipatuhinya. Meski begitu tak jarang Faruq memberontak ayahnya, termasuk yang sedang dilakukannya sekarang. Tidak apa memberontak toh ini hari bahagiaku, sehari gak nurut tak apalah. Gumamnya dalam hati saat masuk kedalam rumah yang sedang kosong karena penghuninya sedang sholat jamaah di mushola.
Ternyata yang dipikirkannya salah, malam ini kegalauan mulai muncul dalam dirinya. Setelah selesai bersih-bersih dan juga sholat maghrib serta makan malam hangat keluarga, ayahnya memanggilnya untuk masuk ke ruang kerjanya. Mulai timbul kecemasan dalam hati Faruq, oh men, pasti ini Ayah bakal ngomel, batinnya. Saat makan malam tadi ada sedikit keanehan dari ayahnya, beliau terlihat lebih banyak diam dan semua itu semakin membuat Faruq was-was. “Ruq, Faruq kesini sebentar Le[1]. Ada yang ayah ingin bicarakan”. Teriak ayahnya dari ruang kerjanya, membuat Faruq siaga untuk mendengarkan segala ocehan ayahnya. “enggeh[2] Ayah”. Jawabnya dengan nada pasrah. Dan sambil melangkahkan kakinya dari ruang nonton TV ke tempat kerja ayahnya. Di sofa sebelahnya nampak adek semata wayangnya yang kini sedang duduk di bangku SMP kelas 3 memberikan semangat kakaknya dengan mengepalkan tangan di depan dadanya sambil berucap tanpa suara yang terlihat jelas berkata semangat Abang. Faruq yang pasrah membalasnya dengan senyum dan mengepalkan tangan di depan dadanya persis seperti gerakan adiknya.
Persis seperti apa yang diperkirakannya, kali ini ayahnya benar-benar marah. Imbasnya dia harus menuruti keinginan ayahnya untuk mengirimnya ke pondok pesantren di Bantul. Tidak ada alasan bagus untuk bisa menolak keinginan ayahnya. Jadi, dengan sedikit keterpaksaan, dia menuruti keinginan ayahnya, karena dia tahu apapun yang dilakukan ayahnya tidak akan pernah salah, semua bermanfaat untuk dirinya. Impiannya untuk menjadi pengacara muda harus sedikit tertunda, dan dia harus sedikit legowo[3] dengan keputusan ayahnya ini yang ternyata sudah jauh-jauh hari menyiapkan semuanya. Minggu depan Faruq harus berangkat ke pondok pesantren.
***
“Pondok Pesantren Mamba’ul Hikmah”, papan nama yang tertulis jelas di depan sebuah bangunan yang bertipe bangunan kuno khas Yogya telah berada di depan mata Faruq. Welcome dunia baru ku, bersahabatlah. Batinya sambil menatap papan nama tersebut. “ini Le, pondok mu, belajar yang sungguh-sunggah disini ya Le”. Ucapan ayah Faruq menyadarkan Faruq dari keasyikannya berkelana membayangkan akan seperti apa dia disini. Dia hanya menoleh kearah ayahnya dan mengangguk InsyaAllah yah, tapi gak janji. Batinnya.
Dia dan ayahnya masuk kedalam wilayah pondok, yang ternyata hanya ada santri laki-laki saja, sepertinya pondok ini khusus untuk santri laki-laki. Suasana di pondok ini tenang, jauh dari keramaian dan terlihat damai, orang-orang yang ada di dalamnya semua memakai sarung dan tengah sibuk melakukan aktivitas mereka masing-masing. Mereka terlihat sangat sederhana, jauh dari kesan kota. Hal itu tidak menjadi masalah bagi Faruq, karena notabene, dia tidak pernah membeda-bedakan orang-orang dari kota maupun desa, dari kaya maupun miskin dari berpendidikan maupun tidak, di matanya semua sama hanya iman dan ketaqwaan pada Tuhan yang membedakan derajat mereka. Saat perjalanan ke kantor pengurusnya, Faruq mengamati sekilas orang-orang yang dilaluinya, dia melihat seorang yang sejak tadi memperhatikannya dari jauh, yang sedikit membuatnya tidak nyaman. Kenapa dia memperhatikanku seperti itu ya? Ada yang salah dengan penampilanku batin Faruq sambil memeriksa busana yang tengah dipakainya. Tak ada kesalahan yang ditemukannya dan dia berusaha mengabaikan orang tersebut dan masuk ke kantor pengurus.
Beberapa menit mengurusi administrasi di kantor dan berbincang dengan pak Kyai Sulaiman, Faruq diantarkan oleh seorang seniornya yang dipanggil pak Kyai dengan nama Ibrahim ke kamarnya dan sekaligus waktunya Faruq berpamitan dan berpisah dengan ayahnya. Berjalan sekitar 500 meter Faruq melihat kamar yang terlihat cukup besar. “Assalamu’alaikum, selamat siang semuanya. Perkenalkan ini teman baru kalian yang akan menempati kamar ini. Mohon kalian bisa mengenalnya dengan baik. Perkenalkan namamu sendiri”. Kata Ibrahim senior Faruq, sambil menyikut Faruq yang sedang mengamati ruangan barunya. Sedikit kaget Faruq mengangguk, dan mulai memperkenalkan diri. “Selamat siang, perkenalkan nama saya Umar Al- Faruq...”.
Mendengar namanya disebut seisi ruangan yang berjumlah 5 anak itu tertawa dan sedikit menjadi gaduh. “hei, kenapa kalian tertawa?” mendengar gertakan Ibrahim seisi ruangan kembali diam meski sebagian dari mereka masih menahan tawa sambil menutup mulut.“Lanjutkan!” kata Ibrahim kembali menyuruh Faruq. Sambil mengangguk “Iya Bang, kalian bisa memanggilku Faruq, saya dari kota. Mohon bantuan dan kerjasama kalian ya”. Kata Faruq tegas. “oke baiklah, pendidikan terakhirmu apa?” tanya Ibrahim. “oh, saya baru lulus sarjana hukum di UGM Bang”. Jawab Faruq sontak membuat seisi ruangan sedikit terbengong. “hmm, gitu. Tapi ingat ya, gelar sarjanamu itu sekarang disini tidak berlaku lagi ya? Kamu disini hanya murid baru yang tidak tahu apa-apa, dan aku sekarang jadi seniormu, jadi kamu harus mematuhi peraturan pondok dan juga harus hormat kepada senior-senior yang lain”. kata Ibrahim sedikit dengan nada sombong. “iya baik Bang”. Balas Faruq singkat. “ya sudah, bereskan barang-barangmu, tempat tidurmu di sana, di sebelah Fikri. Kalian semua istirahat dulu, nanti jangan lupa sholat dhuhur berjamaah dan langsung ngaji”. Kata Ibrahim sambil menunjuk salah satu sudut di ruang itu dan kemudian pergi. “enggeh Bang”. Seisi ruangan menjawab perintah Ibrahim dengan kompak.
Selepas Ibrahim meninggalkan ruangan, Faruq mulai mengangkat beberapa barangnya, dan tanpa komando, seisi kamar, berbondong-bondong membantu Faruq mengangkat barang-barangnya. Faruq hanya tersenyum dan berkata “terimakasih” kepada semuanya. Kemudian mereka saling berkenalan dan mulai sedikit lebih akrab. Dalam kamar tersebut dihuni 6 orang beserta Faruq. Mereka antara lain, Fikri yang tempat tidurnya tepat disebelah Faruq, yang setelah di sadari dia yang tadi memperhatikan Faruq. Di sebelahnya Fikri ada Alif, dan 3 orang yang tidurnya berhadapan dengan tempat tidur Faruq ada Yahya, Fajar dan Ilham. Semuanya sangat ramah pada Faruq, sehingga tidak terlalu mempersulit keadaan Faruq. Pada awal-awal dia sudah menemukan beberapa teman baru yang ternyata semuanya asyik untuk diajak bicara dan juga masih seumuran dengan Faruq. Sambil menata barang-barang bawaannya mereka bercakap-cakap. “Ruq, kamu kok bisa masuk pesantren ini sih? Kan kamu udah sarjana” pertanyaan terlontar dari Alif. Sedikit membuat Faruq bingung menjawabnya karena dia juga tak tahu apa alasan ayahnya mengirimnya ketempat ini. “Entahlah Lif, aku ikut apa kata ayahku aja”. Jawab Faruq sekenanya. “kamu gak berencana jadi pengacara atau hakim gitu Ruq, kan sarjana hukum UGM pula?” kali ini pertanyaan dari Ilham. “eh? Tentulah. Itu impianku dari dulu, tapi kayaknya harus di tunda dulu deh Ham, habis mondok disini”. Jawab Faruq sambil menata baju-bajunya. “kamu keren Ruq, aku dari dulu pengen kuliah di UGM dan di jurusan yang sama kayak kamu, tapi gak jadi, kurang biaya dan otakku juga pas-pas an”. Kata Fikri yang sontak membuat seisi ruang melebur dalam tawa. “alah Fik, biasa aja, sama aja kali. Aku masih junior disini. Aku masih jauh di bawah kalian semua. Seperti kata Bang Ibrahim tadi, gelarku gak berlaku disini”. Kata Faruq sambil menyentuh pundak Fikri. “alah kamu kok manut[4] banget sama Ibrahim itu”. Kata Yahya tiba-tiba, sambil menulis beberapa kitab Ilham yang semalam dia tinggalkan karena tertidur di kelas. “iya Ruq, gak usah manut-manut banget sama dia, dia sebenarnya seumuran dengan kita, hanya saja dia lebih pintar sedikit dan lebih lama mondok disini, dia jadi santri kepercayaan Abah Sul”. Kata Fajar. “bener kata Fajar. Ibrahim itu jadi sedikit sombong dan gila hormat sejak dia diangkat jadi ketua santri di pondoh oleh Abah”. Kata Alif sedikit dengan nada tidak suka. “heh, kalian di belakang Bang Ibrahim berani bilang gitu, waktu di depannya, apa yang kalian lakukan manut apapun ucapannya juga kan”. Kata Fikri. “haha, dia kan tukang ngadu ke Abah, takutlah kita. Ya nggak?”. Kata Ilham sambil meminta dukungan keempat temannya. Semua tidak menjawab hanya saling mengangguk dengan semangat. “hei sudah deh teman-teman jangan membicarakan dia di belakang, dosa kan kalau membicarakan orang lain dibelakang? Mending kita siap-siap untuk sholat, nanti dimarahi kalau telat” kata Faruq mencairkan suasana yang sedikit memanas. Padahal sebenarnya dalam hatinya dia mengiyakan kata-kata teman barunya kalau sikap Ibrahim sedikit sombong tadi. Tapi dia pikir memang dia masih junior dan tidak tahu banyak tentang agama jadi wajar lah.
 Setelah selesai sholat dhuhur berjamaah, semua santri di wajibkan sungkem pada Abah Sul, sebutan yang berikan santri-santrinya untuk memanggil Kyai Sulaiman. Semua santri antri untuk sembah sungkem pada Abah seperti yang dilakukan oleh raja-raja jawa jaman dulu yang saat ini masih dilakukan di keraton oleh keluarga sultan dan masih sarat akan nilai feodalisme. Ada ketidak nyamanan dari hati Faruq, bagi dia sekarang seharusnya feodalisme sudah tidak ada lagi, apa lagi islam juga mengajarkan untuk bersikap adil terhadap sesamanya, dan menganggap semuanya sederajat, hanya kadar iman dan taqwa kepada Allah yang bisa jadi pembeda diantara individu dengan individu lainnya. Kenapa hal ini masih terjadi di pesantren sih? Menghormati gak begitu juga kan?. Batinnya. Faruq menahan semua yang ada dipikirannya, karena saat ini adalah hari pertama dia di sini, dia tidak mau merusak semuanya sedini ini. Setelah dia dan Fikri keluar dari masjid, ada hal yang membuatnya penasaran dan dia menanyakan pada Fikri dalam perjalanan ke kelas untuk mengikuti kegiatan mengaji perdananya.  “eh Fik, harus seperti itu ya setiap habis sholat”. Kata Faruq. “apa sih?” jawab Fikri yang sedikit tidak memperhatikan pertanyaan to the point Faruq. “itu tadi. Sembah sungkem ke Abah kayak sembah sungkem ke raja”. Penjelasan Faruq. “oalah, itu. Iya kan untuk menghormati Abah”. Jawab Fikri santai sambil berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan tiap-tiap ruang di pesantren. “menghormati? Apa gak ada cara lain yang tidak menunjukkan feodalisme?”. Kata Faruq. “entahlah Ruq, aku ngikut aja. Udah ayo kita masuk ke kelas. Udah sampai kita”. Kata Fikri sambil menunjukkan ruang kelas yang di dalamnya sudah banyak santri yang menunggu sang ustadz datang.
Terpaksa Faruq harus menahan rasa penasarannya dan mulai mengikuti Fikri masuk kelas menuju lambaian tangan dari Yahya yang ternyata sudah berada disana bersama Ilham, Fajar dan Alif. Beberapa menit mereka menunggu seorang lelaki dewasa yang terlihat tegas dan gagah memasuki ruangan. “Assalamu’alaikum ya thilmidzi? Kaifa khaluqum?[5]” katanya dengan lantang. “Wa’alaikumsalam ya ustadzi, ana bikhoir wal hamdulillah6”. Jawab murid kompak. “Alhamdulillah kalau begitu. Kita lanjutkan kitab kemarin ya? Eh tunggu, sepertinya ada santri baru. Ma ismuka?[6]”. katanya sambil menunjuk Faruq. Sontak Faruq kaget, dan dia tidak tahu sama sekali apa yang di maksud ustadz itu. Fikri membisikkan maksud dari ustadz yang biasanya para santri memanggilnya ustadz Cokro. Faruq mulai paham apa yang di maksudkan ustadz Cokro dan menjawabnya dengan santai. Karena sejak awal dia sedikit malas mengikuti kelas. “Faruq Ustadz. Umar Al- Faruq”. Jawab Faruq. “wah, bagus sekali namamu, sang pembeda, orang tuamu pasti punya maksud tersendiri menamakanmu dengan nama itu nak”. Katanya dengan senyum lebar. “maksud Ustadz?”. Tanya Faruq yang tidak paham maksud ustadznya. “itu namamu, artinya sang pembeda. Jangan-jangan Kamu tidak paham maksud namamu nak?” tanya ustadz Cokro lagi. Faruq tersenyum lebar mengiyakan apa yang dikatakan ustadz Cokro. “ckckck anak jaman sekarang. Lantas kamu tahu tidak siapa Umar Al- Faruq itu?”. Tanyanya lagi. Faruq menggeleng “mboten[7] Ustadz. Hehe”. “Astagfirullah Le, kok bisa gak paham. Kamu itu bagaimana? Padahal tokoh terkenal dan berpengaruh jaman Khulafaur Rasyidin lo? Yang lain tahu siapa Sayyidina Umar bin Khattab?”. Kata ustadz Cokro yang ini ditujukan ke semua santri. “Khalifah kedua setelah Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq Ustadz”. Jawab Fikri yang duduk disebelah Faruq. “na’am[8] benar sekali kata Fikri. Dia Khalifah yang di juluki Al- Faruq karena ketegasannya juga keadilannya dalam membedakan yang benar dan bathil. Dia itu Khalifah yang hebat, banyak jasanya dalam Islam. Contoh pemimpin yang baik dan harus dimiliki sebuah negara jika ingin jadi baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur (Negeri yang Baik dan Tuhan Maha Pengampun). Dermawan dan mementingkan rakyatnya dari pada dirinya sendiri...” penjelasan panjang ustadz Cokro yang didengarkan dengan seksama oleh para santri.
Penjelasan panjang ustadz Cokro yang lugas dan jelas membuat Faruq terkesima, dan menjadi mengidolakan Sayyidina Umar. Sejak awal dia juga telah mengagumi HOS Tjokroaminoto. Dia mengagumi mereka karena menurutnya apa yang dia pikirkan sama dengan yang mereka pikirkan. Kesan pertamanya terhadap ustadz Cokro merupakan ustadz yang baik dan bersahabat.
Setelah beberapa hari Faruq mendapatkan ilmu dan di ajar oleh ustadz Cokro, muncul kekaguman dia pada ustadznya itu. Beliau tidak pernah membuat sekat untuk membedakan kedudukan santri dengan ustadz, menurut beliau hanya Iman dan Taqwa yang menjadi pembeda. Beliau juga mengajarkan nilai nasionalisme secara Islam. Dan sepertinya karena ustadz ini Faruq menjadi lebih semangat lagi dalam menimba ilmu di pesantren dan kini dia jadi salah satu santri yang dekat dengan ustadz Cokro, karena mereka sering berdiskusi diluar jam pembelajaran.
***
Hari ini Faruq berencana untuk menemui ustadz Cokro untuk menanyakan suatu hal yang selama ini mengganjal di pikirannya tentang praktik feodalisme di sini dan juga adanya indikasi bahwa pesantren ini tidak menerapkan nilai nasionalisme, malah cenderung mendukung tentang isu Negara Islam yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan. Indikasi ini dapat dicium Faruq dari beberapa ceramah Abah Sul akhir-akhir ini. Dan semuanya membuat kecemasan tersendiri di hati Faruq. Dia ingin mendiskusikan dengan Ustadz Cokro, karena menurutnya hanya Ustadz Cokro yang sependapat dengannya. Dia menghampiri ustadz Cokro di kantor dan saat itu dia melihat ustadz Cokro sedang berbicara dengan seorang perempuan yang terlihat seumuran dengannya. Tanpa ragu dan berpikiran yang tidak-tidak Faruq mendekati ustadz Cokro yang sedang berbincang dengan perempuan itu. Semakin dekat, semakin terlihat bagaimana paras perempuan itu yang menurut Faruq sangat cantik dan juga terlihat anggun meski dengan balutan baju syar’inya perempuan itu tetap seperti bidadari bagi Faruq. Kecantikan perempuan itu sampai membuat Faruq terbengong-bengong tanpa sadar terus memandangi perempuan itu, hingga akhirnya teguran pak ustadz menyadarkan Faruq. “eghm, ingat maksiat mata Le”. Goda Ustadz Cokro yang langsung membuat pipi Faruq dan perempuan itu merona. “Astaghfirullahhaladzim. Maaf, maaf”. Kata Faruq sambil memalingkan muka, menghindari bertatapan dengan perempuan itu. “kalau begitu Khumairah permisi dulu Ustadz”. Kata perempuan itu, berpamitan pada Faruq dan Ustadz Cokro secara tiba-tiba seakan tahu kalau ada kepentingan antara Faruq dengan Ustadz Cokro. “ada perlu apa Le?”. Tanya Ustadz Cokro sepeninggal Khumairah. “yang tadi itu siapa ustadz?” tanya Faruq yang sedikit lupa pada tujuan awalnya menemui ustadz Cokro. “oalah, tadi itu Khumaira putrinya Abah. Hayo kenapa Le? Demen[9]??” goda ustadz Cokro yang langsung membuat Faruq salah tingkah. “haha ustadz ada aja. Cantik sih ustadz, sholehah juga ya. Tapi apa pantas sih ustadz, aku kan hanya seperti ini”. Kata Faruq merendah. “ngomong apa to kamu Le, jodoh itu Gusti Allah yang ngatur, kita gak ada yang tahu rahasia dibaliknya. Jangan merendah gitu, Ustadz gak suka sama orang yang merendah diri, rendah hati boleh, tapi jangan rendah diri”. Kata Ustadz Cokro sedikit memarahi Faruq atas sikapnya yang merendah. “Enggeh Ustadz, maaf. Sudah deh Ustadz jangan bahas wanita lagi, nanti kalau jodoh pasti dekat”. Kata Faruq. “iya, iya, tadi kamu kesini mau bahas apa Le?”. Kata Ustadz Cokro memulai perbincangan.
Faruq pun menjelaskan kedatangannya menemui Ustadz Cokro, dia membahas tentang praktik feodalisme yang terjadi di pondok dan juga indikasi rencana membentuk Negara Islam, yang akhir-akhir ini di bahas Abah saat ceramah di masjid. Ustadz Cokro sebenarnya sudah mencium Negara Islam itu sejak dulu, namun karena posisinya yang tidak begitu berpengaruh di pondok pesantren ini, akibatnya apapun yang dilakukan beliau tak ada artinya. Faruq jadi tambah cemas, dia takut akan hilang rasa nasionalisme di pondok ini dan hal itu pasti akan berdampak buruk nantinya bagi kedaulatan Indonesia. Ustadz Cokro hanya bisa menasehati Faruq untuk tidak bertindak gegabah dan harus penuh perhitungan. Apapun yang dikatakan Ustadz Cokro, Faruq selalu menurutinya. Apalagi ustadz Cokro juga mengatakan bahwa ternyata Khumaira gadis yang telah meluluhkan hatinya secara diam-diam juga tidak menyukai gaya ayahnya dalam memimpin pondok pesantren dan juga tidak sependapat dengan pendapat ayahnya tentang pembentukan Negara Islam membuat Faruq jadi semakin semangat untuk menegakkan kekeliruan yang terjadi di pesantren.
***
Teman-teman Faruq tak ada yang berani bertindak menegakkan hal yang salah di pesantren ini meskipun sebenarnya mereka tahu kalau hal ini tidak benar. Sudah berminggu-minggu sampai berbulan-bulan Faruq tinggal di pesanren dan menahan pendapatnya setiap Abah berceramah tentang Negara Islam dan juga praktik Feodalisme yang berlaku di pesantren ini. Hari ini Faruq dengan tegas akan bertindak, dia berencana akan membantah apa yang dikatakan Abah saat ceramah jika itu menyinggung Negara Islam. teman-teman sekamarnya sudah mengingatkan bahwa tindakan yang dilakukannya akan berdampak buruk pada dirinya sendiri, yang akhir-akhir ini menjadi salah satu santri yang di waspadai dan disoroti para senior terutama Ibrahim. Akhir-akhir ini Faruq sering melanggar aturan yang dibuat Ibrahim yang menurutnya mengandung praktik feodalisme dan cenderung tidak adil.
Beberapa hari yang lalu, Fikri teman sekamarnya melakukan kesalahan karena lupa tidak memberi hormat (membungkuk) saat bertemu dengan seniornya saat berjalan. Dia langsung di takzir[10] disuruh membersihkan kamar mandi. Faruq geram hanya karena masalah sepele seperti itu Fikri harus menerima hukuman. Akhirnya dengan kebaraniannya dan juga sikapnya yang sedikit grusa-grusu[11] kalau sedang emosi, Faruq memberanikan diri memprotes kebijakan yang di buat oleh Ibrahim. Akibatnya dia sendiri juga mendapatkan hukuman.
Hari ini seperti biasa setelah selesai sholat maghrib Abah selalu bercermah untuk mengisi waktu sekaligus menunggu sholat isya, dan seperti yang diduga Faruq, Abah membahas tentang Negara Islam dan spontan Faruq pun mengangkat tangan dan mulai angkat bicara menentang semua yang dikatakan Abah, menyampaikan semua pandangannya tentang pentingnya menjaga Nasionalisme, baik itu di lingkungan pesantren maupun di luar pesantren dan juga ketidak nyamanannya terhadap peraturan yang mengharuskan sembah sungkem setelah selesai sholat. Mendengar apa yang dikatakan Faruq Abah sedikit menunjukkan bahwa beliau tidak suka dengan apa yang dikatakan Faruq, beliau meminta Faruq untuk ke kantornya setelah selesai sholat isya. Habis sudah ini aku. Batinnya. “Assalamu’alaikum”. Dengan memberanikan diri Faruq masuk ke kantor Abah. “Wa’alaikumsalam, masuk”. Balas Abah dengan nada dingin. “ada apa Abah memanggil saya?”. Tanya Faruq mencoba polos, padahal sebenarnya dia sudah tahu apa yang akan dibicarakan Abah. “maksud kamu apa tadi Le? Kamu mau mulai menentang Abah?”. Kata Abah to the point.mboten Bah, sama sekali tidak ada niat Kulo[12] menentang Abah, semuanya murni apa yang saya pikirkan, dan saya hanya berusaha menyampaikan pendapat” kata Faruq tegas. “menyampaikan pendapat. Pangkat mu apa di sini Le?”. Kata Abah. “enggeh memang kulo hanya santri di sini Bah, tapi Negara kita kan Negara Demokrasi semua punya hak untuk menyampaikan pendakan kan Bah. Saya hanya tidak setuju dengan gagasan Abah tentang pembentukan Negara Islam, Indonesia adalah Negara Kesatuaan Republik Indonesia, tidak bisa dipecah menjadi Negara Islam, Kristen atau lain-lainnya”. kata Faruq berapi-api. “hmm sekarang kamu berani menggurui Kyai mu ya Le?”. Kata Abah yang juga sedikit terpancing emosi namun masih terlihat tenang. “mboten Bah...”. Jawab Faruq yang terpotong oleh kedatangan sesorang dengan tiba-tiba di ruangan. “bohong Bah, ada maksud tersembunyi dari apa yang dilakukannya Bah. Dia ingin mempengaruhi santri-santri di sini untuk berani menentang Abah”. Kata Ibrahim yang tiba-tiba masuk keruangan. “bener itu Le? Sebenarnya apa yang salah dari Abah, kok kamu mencari orang untuk menentang Abah. Seharusnya kalau kamu tidak suka dengan Abah sejak awal kamu tidak usah masuk pesantren ini. Sepertinya tempat ini tidak sesuai dengan orang kota sepertimu Le. Lebih baik kamu pulang”. Kata Abah masih dengan wajah cool namun sedikit terlihat jelas kalau sedang marah. “tapi Bah, mboten. Bukan itu maksud saya...” kata Faruq pasrah. “uwes[13] Le. Lebih baik kamu segera kembali ke kamar, membereskan barang-barangmu, dari pada disini malah semakin membuat emosi Abah”. Kata Abah sambil berdiri dan meninggalkan Faruq dengan Ibrahim di sebelahnya yang terlihat sedang tersenyum puas bisa menyingkirkan Faruq yang berpotensi menggantikan jabatannya.
Dengan lunglai Faruq meninggalkan Ruangan, menuju kamarnya untuk membereskan barang-barangnya. Di sebuah lorong ditengah perjalannnya Ustadz Cokro memandangnya dengan pandangan kasihan. Beliau seperti berkata, seharusnya kamu harus bisa lebih berhati-hati Le, jangan terlalu Frontal. Faruq sudah tidak bisa lagi memandang Ustadz yang sudah dianggap Ayah olehnya. Pandangannya hanya sedikit penyesalan, bukan karena apa yang dikatakannya, tapi atas tindakannya yang terlalu frontal dan tidak diperhitungkan. Apa boleh buat nasi sudah jadi bubur. Faruq hanya pasrah dan berusaha menerima dengan Legowo. Tempat yang sudah mulai dia sayangi dan teman-teman baru yang lebih baik dari teman-temannya dulu sekarang harus dia tinggalkan, ditambah lagi Khumaira.
Sebulan setelah Faruq pergi, dan suasana kamar Faruq menjadi sedikit berbeda. Teman-teman Faruq sedikit murung akhir-akhir ini. Nampaknya keberadaan Faruq yang sebentar diantara mereka mampu membuat kenangan manis antara mereka. Bahkan Ustadz Cokro pun juga merasakan kehilangan murid yang mencerminkan sifat tokoh idolanya, Umar bin Khatab dan HOS Tjokroaminoto. Sejak hari kepergian Faruq, Ustadz Cokro, berkali-kali membujuk Abah Sul untuk memafkan Faruq, dan mau menerima dia lagi untuk belajar di pesantren ini. Tapi sia-sia. Watak Abah yang keras sulit sekali diluluhkan. Hanya ada satu cara lagi yang belum di coba, yaitu meminta agar Khumaira membujuk ayahnya dan menyadarkan ayahnya. Abah terlihat sangat menyayangi putri tunggalnya itu, jadi Ustadz Cokro berharap bisa mengembalikan Faruq ke pesantren dengan bantuan Khumaira. Beliaupun memanggil Khumaira untuk membicarakan rencananya, dan ternyata selama ini Khumaira juga telah berusaha membujuk ayahnya sejak dia mendengar kabar Faruq dikeluarkan.
Awalnya tetap saja sulit sekali membujuk Abah. Namun sekeras-kerasnya batu pasti dia akan terkikis dengan usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus oleh air. Akhir-akhir ini Abah Sul sudah mulai memikirkan apa yang dikatakan putrinya Khumaira, tentang pendapat Faruq. Tampaknya beliau sedikit menyadari apa yang dipikirkannya selama ini ada yang salah. Dan ditambah lagi suatu hari beliau melihat Ibrahim santri yang selama ini begitu dipercayanya, bertindak semaunya sendiri karena jabatan yang dimilikinya. Abah memberikan pelajaran pada Ibrahim tentang perbuatannya yang salah itu. Beliau mulai sadar bahwa praktik Feodalisme di pondok harus di hilangkan, derajat manusia dihadapan Tuhan tidak ditentukan dengan kedudukan yang tinggi.
Dan pada akhirnya, dengan usaha yang dilakukan setiap hari oleh Khumaira untuk mengubah pola pikir ayahnya, Abah kini sadar bahwa semua yang dikatakan Faruq memang benar. Beliau pun meminta Ustdz Cokro untuk meminta Faruq kembali menuntut ilmu di pesantren ini. Tidak ada kesulitan Ustadz Cokro untuk menemukan Faruq, yang selama ini dia tampung di rumahnya, karena Faruq tidak berani pulang ke rumah, dia takut akan sangat mengecewakan Ayah dan Ibunya. Dan dengan kebesaran hati Ustadz Cokro mau menampung Faruq beberapa bulan terakhir.
Setelah Faruq kembali ke pesantren, Abah kini mulai bersikap terbuka pada pendapat santri maupun ustadz-ustadznya jika ada kesalahan pola pikir dan juga menghilangkan tradisi sembah sungkem dengan hanya bersalaman sebagai rasa hormat. Faruq menjadi santri yang di sukai Abah karena keberaniannya sebagai pembeda. Diam-diam Abah selalu memperhatikan perkembangan Faruq dalam belajar agama. Dan sering memanggilnya ke kantor ataupun berkunjung ke rumah hanya untuk sekedar ngobrol. Selain itu ada kebahagiaan tersendiri yang dirasakan oleh Khumaira karena bisa melihat lelaki yang berhasil membuatnya susah tidur. Diam-diam ternyata Khumaira dan Faruq menyimpan perasaan yang sama, saling mencintai dalam diam, entah bagaimana akhirnya nanti.
Ustadz Cokro pun juga semakin bangga dengan santri kesayangannya itu, perkembangannya dalam Ilmu Agama semakin pesat, dia juga memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Melihat perkembangan Faruq yang semakin cepat, Abah Sul meminta Faruq untuk menggantikan posisi Ibrahim menjadi ketua santri. Semenjak kejadian Abah mengetahui tindakan Ibrahim yang semena-mena dalam menggunakan jabatannya, kepercayaan Abah terhadap Ibrahim langsung berkurang. Sebenarnya menjadi ketua santri merupakan kesempatan besar Faruq untuk bisa mengubah pesantren ini menjadi lebih baik dan nasionalis tapi tetap Religius. Teman-teman sekamarnya juga Ustadz Cokro sangat mendukung hal tersebut. Tapi dengan santai Faruq menolak tawaran yang diberikan Abah kepadanya. menurut dia masih ada cara lain untuk menyebarkan nilai-nilai religius dan nasionalis bukan hanya dengan menjadi seorang pemimpin. Faruq tetap ingin melanjutkan cita-citanya menjadi seorang pengacara, kali ini pengacara yang tidak pintar pengetahuannya saja tapi juga pengacara yang paham akan nilai Agama dan menerapkan nilai-nilai islam dalam segala hal yang dilakukannya. Sesuai dengan keinginan Ayahnya sejak awal dia dimasukkan ke pesantren.
Meskipun di pesantren dia tidak menjadi pemimpin, banyak santri yang segan terhadapnya, karena keberaniaannya dan ketegasannya juga sikap baiknya. Dia bisa di bilang “Raja tanpa mahkota” jaman sekarang. Julukan yang diberikan untuk HOS Tjokroaminoto, dan kini disandang oleh Faruq.
Bonus dari semua sikap tegas dan berani serta kepandainnya, menuntunnya mendapatkan jodoh. Pada suatu hari Abah Sul yang menyadari perasaan putri tunggalnya terhadap Faruq, beliau langsung memanggil Faruq ke kantornya. Panggilan dari Abah yang cukup mendadak membuat Faruq berfikir apa dia punya kesalahan akhir-akhir ini. Namun dengan tetap yakin dia melangkah menemui Abah. “Assalamu’alaikum Abah. Wonten nopo nggeh?[14]”. ucap Faruq santai. “Wa’alaikumsalam. Sini Le duduk. Langsung saja ya? Kamu kan sudah menolak tawaranku menjadi ketua santri, sekarang kamu mau menuruti permintaanku?”. Kata Abah to the point. enggeh Bah. Apapun itu?”. Jawab Faruq tegas. “kamu belum menikah kan?”. Tanya Abah lagi. Pertanyaan Abah membuat Faruq semakin penasaran. “dereng[15]  Bah”. Jawab Faruq singkat. “Alhamdulillah, kalau begitu nikahi Khumaira”. Kata Abah lantang. Sontak membuat Faruq kaget dan merasa sangat bahagia dan ingin loncat-loncat. Melihat Faruq terdiam Abah kembali meyakinkan Faruq “Abah serius, kelihatannya Khumaira menyukaimu, dan kamu pun juga suka padanya. Terlihat jelas saat kamu sering berkunjung ke sini dan kalian saling berpandangan”. Subhanallah, bagaimana Abah bisa tahu? Batinnya. Tak mau ambil pusing Dengan lantang Faruq menjawab “InsyaAllah Faruq siap menjadi Imam buat Khumaira Bah”.



[1] Singkatan dari Tole: panggilan sayang orang tua di daerah Jawa ke anak laki-lakinya yang artinya anak laki-laki
[2] Bahasa Jawa yang artinya Iya.
[3] Bahasa Jawa yang artinya Lapang dada
[4] Bahasa Jawa yang artinya nurut atau patuh
[5] Bahasa Arab yang artinya Assalamu’alaikum wahai murid-muridku? Apa kabar kalian semua?
6 Bahasa Arab yang artinya Wa’alaikumsalam pak, alhamdulillah baik-baik saja.
[6] Bahasa Arab yang artinya siapa namamu?
[7] Bahasa Jawa artinya tidak
[8] Bahasa Arab artinya Iya atau benar
[9] Bahasa Jawa yang artinya suka
[10] Istilah yang biasa digunakan di pondok pesantren untuk santri yang melanggar aturan atau bisa jadi di sebut hukuman
[11] Bahasa Jawa yang artinya tergesa-gesa atau terburu-buru
[12] Bahasa Jawa yang artinya saya
[13] Bahasa Jawa yang artinya sudah
[14] Bahasa Jawa yang artinya ada apa ya?
[15] Bahasa Jawa yang artinya belum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Drama : Happiness

  Detail Drama: Happiness Revised romanization: Happiness Hangul: 해피니스 Director: Ahn Gil-Ho Writer: Han Sang-Woon Network: tvN, TVING Episod...