London, 2015
Hamparan salju
yang indah menyambut pagiku di apartemen. Di luar sana sepertinya sedang turun
salju, pertama kalinya aku melihat salju turun sepanjang umurku yang sudah mencapai 25 tahun ini. Dulu
aku bisa menyaksikan salju hanya dari film-film yang aku lihat dan kini aku
sendiri merasakannya sungguh benar-benar tidak aku sangka. Ingin rasanya
bermain salju diluar sana, namun suhu yang begitu dingin memintaku untuk tetap
nyaman berada di dalam selimut. Ku amati setiap bulir salju yang turun dari
balik jendela apartemen yang sudah hampir 3 bulan ini aku tempati. Dengan
ditemani secangkir kopi panas yang sengaja aku bawa dari Indonesia, kopi asli
buatan ibuku. Secangkir kopi ini sedikit menghangatkan tubuhku yang masih
berbalut selimut dan juga berhasil mengingatkanku pada suasana di Indonesia,
mengingatkanku pada ibuku dan seseorang yang sangat suka dengan kopi racikan
ibuku. Ah, aku mulai rindu lagi padanya?
Dimana sekarang dia ya? Bagaimana keadaannya sekarang ya? Aku harap kamu sehat.
Semua hal sering mengingatkanku dengan lelaki itu, bahkan kota ini pun adalah
salah satu impian kami berdua. Dan kami pernah berjanji, kami akan bisa pergi
ke tempat ini meskipun dengan cara dan jalan masing-masing. Dan aku berhasil
menepati janjiku, entah bagaimana dengan dia. Sudah hampir 5 tahun dia
memutuskan pergi mencari jalannya sendiri dan mengikuti keinginannya, kita
bukan sepasang kekasih, juga bukan sahabat, lebih tepatnya kami rival, rival
yang cukup tangguh. Dan anehnya setelah kepergiannya aku rindu padanya, entahlah, yang jelas aku harap dia juga bisa
menggapai mimpinya. Tanpa sadar aku berkata seperti itu.
Asyik
bernostalgia membuatku lupa waktu, hari ini aku ada jadwal kuliah di kampus
kebanggaanku yang dulu hanya impianku, kini kampus ini berhasil aku taklukkan.
London School of Economics and Political Science (LSE), aku mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan dan mendapatkan gelar S2 ku disini melanjutkan ilmu
akuntansi yang sudah aku pelajari di Universitas Negeri Malang. Suhu yang
mencapai 14o C harus aku takhlukkan. Ku terjang suhu yang begitu
menusuk tulang menuju tempat dimana biasanya aku menunggu trem yang akan
mengantarkanku ke kampus. Tak beberapa lama menunggu trem pengantarku tiba.
Kali ini terlihat cukup ramai sesak, yah
apa boleh buat aku sudah hampir terlambat. Dengan tergesa-gesa memasuki
trem, tanpa sengaja aku menabrak lelaki yang juga terlihat tergesa-gesa ingin
masuk trem “I’m sorry”. Katanya
dengan langsung membantu membereskan barang-barangku dan barang-barangnya yang
terjatuh. Aku sedikit mengenali suara berat itu, ku beranikan diri menoleh
melihat wajahnya dan ternyata dugaanku benar.
Setelah
pertemuan tidak sengaja tadi di trem, kami bertukar nomor dan setelah selesai dengan
kuliah masing-masing kami janjian bertemu untuk makan siang di salah satu cafe
di kota. “kamu bisa kesini juga ternyata May?”. Katanya membuka percakapan dan sedikit
terdengar meremehkanku. “apa maksudmu bilang seperti itu ya jelas bisa lah, aku
yang gak percaya kamu bisa kesini”, balasku tak kalah tajam. “hei jangan salah
aku sekarang bisa kuliah di Royal College of Art dengan biaya sendiri”.
Jawabnya tak mau kalah. “hmm oke, I see,
kamu hebat memang”. Kataku menyiyakan kesombongannya yang aku tahu jika nanti
aku teruskan membanggakan diri sendiri antara kita tidak akan pernah berhenti.
“hehe. Kamu juga hebat May, kamu sekarang di LSE kampus impianmu kan?, dapat
beasiswa lagi”. Katanya yang kali ini sedikit memujiku. “hmm, gak nyangka ya
kita bisa kesini meski dengan cara dan jalan masing-masing”. Kataku mencoba
membuka nostalgia kami. “iya ya, dulu kita kan sama-sama ingin sekali ke kota
ini, dan aku masih ingat lo janji kita waktu itu. Gak nyangka kita bisa
menggapainya dan kita bisa bertemu disini”. Katanya terlihat bersemangat. “iya
semua ini juga berkat ayah dan ibumu juga Tian. Eh iya bagaimana kabarnya ayah?”
kataku memulai untuk bernostalgia.
***
Banjarmasin, 2008
“maaf permisi
pak mau beli kue saya?”. Ku beranikan diri menghampiri dua orang yang terlihat
kaya berharap mau memborong kue ku. Mereka berdua menoleh kearahku dan
tersenyum ramah “oh, berapa harganya nak?” kata ibu-ibu yang terlihat sangat
lembut. “seribuan bu, silahkan”. Kataku menawarkan daganganku. “ya sudah bu,
beli semuanya aja” kata bapak-bapak di sampingnya yang langsung membuatku
girang. “baiklah. Kami beli semuanya ya
nak?” kata ibu itu memperjelas. “oh baik bu, sebentar”. Tanpa pikir panjang,
dan rasa bahagia yang tak terkira, aku membungkus semua kue yang tersisa. “nak,
kamu masih muda, kenapa jualan kue?”. Kata bapak itu menghentikan gerakanku.
Aku sedikit kaget “oh, ini nabung buat bisa pergi ke PTN pak, maklum kurang
biaya”. Kataku santai. “oh, kamu rajin sekali, kalau boleh tahu, kamu pengen
kuliah dimana?”. Kata ibu tadi terlihat penasaran. “pengen ke Universitas
Negeri Malang pak, jurusan akuntansi”. Kataku. “oh disana, berapa NEM mu
kemarin nak?” kata bapak di sebelahnya yang mulai penasaran juga. “Alhamdulillah, 58,9 pak”. Kataku sedikit
malu-malu. “wah, kampir sempurna itu nak, pintar sekali kamu”. Kata ibu itu
sambil mengelus pundakku. “Alhamdulillah bu,
tapi, apa gunanya kalau gak punya uang, gak bisa dilanjutkan, maka dari itu ini
saya sedang benar-benar berjuang untuk bisa menggapai mimpi saya”. Kataku
sedikit terbawa suasana hampir menangis. “udah nak, begini saja alamat rumahmu
mana, kami ingin bertemu orang tuamu dan kami mau meminta ijin membiayai mu
sekolah di Malang”. Kata bapak itu tegas dan ibu itu mengelus pundakku. Aku tak
percaya mendengar apa yang bapak itu katakan. Aku pandangi mata beliau juga ku
pandangi ibu itu. Dan yang terlihat dimata mereka, jawaban sama, kalau
benar-benar serius. Tak bisa mengatakan apa-apa lagi, aku hanya bisa menangis
haru dengan apa yang dikatakan bapak itu.
***
London, 2015
Ada rasa yang
tak bisa ku utarakan saat pertama bertemu dengan perempuan yang sudah 5 tahun
ini membuatku merasakan rindu. Yang jelas aku bahagia dan terkejut, bisa
bertemu dengannya tanpa sengaja dan kini dia ada di depanku sedang menceritakan
bagaimana dulu dia bisa ikut campur dengan keluargaku. Dulu aku benci sekali
dengannya, karena dia aku harus dipaksa ayahku untuk kuliah di jurusan yang aku
sama sekali tidak suka.
Ayah dan ibu
juga sering membanding-bandingkan aku dengannya, aku tidak suka hal itu. Tak
mau dianggap remeh di depannya aku paksakan diri ikut apa yang diinginkan ayah,
kuliah di Malang dan satu jurusan dengannya bahkan satu kelas. Dulu dia sangat
cerewet, tapi kalau masalah pintar, dan rajin, dia memang juaranya. Dia sering
mendapatkan nilai bagus dikelas, dan semakin membuatku jengkel. Diam-diam aku
selalu berusaha menyainginya. Dan sepertinya dia waktu itu menyadari kalau aku
sedang berusaha menyusulnya. Di kelas, kami selalu tidak pernah bisa akur,
selalu saja ada aja yang menjadi perdebatan. “eh dulu kita rival banget ya
Tian?”. Pertanyaannya menyadarkan aku dari pikiranku yang bernostalgia sendiri.
“hmm, iya kata teman-teman kita itu kayak Tom
and Jerry. Lucu deh, tapi itu yang buat aku kangen”. Tanda sadar aku
mengucapkan kata yang tak ingin aku ucapkan. “eh? Apa maksudmu?”. Katanya
menanyakan kejelasan. Bodoh kenapa
ngomong gitu Tian. Kataku memaki diriku sendiri. “enggak apa-apa. Ingat gak
kejadian waktu kita debat di kelas dulu?”. Kataku berusaha mengalihkan
perhatian. “iya ingatlah. Kamu itu katanya gak suka ya ekonomi-ekonomi, tapi
kamu lawan yang cukup tangguh bagiku dalam hal debat”. Katanya dengan ceria.
“hehe, iyalah, aku kan gak mau kalah dihadapanmu”. Kataku jujur. “tapi kamu
termasuk cerdas lo Tian. Kamu kan sering gak masuk kuliah, kerjaanmu kan cuma
pacaran aja kan dulu?”. Katanya langsung membuatku malu. “masak sih? Iya deh
kayaknya? Hehe dan kamu selalu cerewet bilang ini itu”. Kataku mengiyakan apa
yang dikatakannya. “haha, itu sih aku cuma menjaga amanat dari ayah dan ibumu,
aku kan disuruh jagain anak kesayangannya. Yah kalau aku waktu itu benar-benar
cerewet maaf deh”. Katanya dengan nada bersalah. “apaan sih May, suantai deh.
Justru karena itu aku bisa kayak gini”. Kataku langsung mengingatkanku
kejadiaan tahun baru waktu itu.
***
Malang, 1 Januari 2010
Malam tahun baru
tahun baru kedua ku di kota perantauan yang sejak awal aku kutuk, kenapa aku
bisa berada disini dengan perempuan yang sangat menyebalkan ini. Seperti
layaknya anak muda, tahun baru ingin bersenang-senang dan aku malam ini
memutuskan untuk pergi bersama kekasihku. Sudah beberapa hari ini keinginanku
untuk kuliah benar-benar sedang tidak ada, biasanya aku bersemangat karena aku
ingin mengalahkan Maya, tapi kali ini entah kenapa sama sekali tak ada niatku
untuk masuk kelas bahkan saat ujian akhir hari ini, aku malah memilih menyiapkan
hal untuk pergi bersama teman-temanku dan kekasihku. Maya yang dasarnya sangat
cerewet sejak awal, mengetahui aku tak masuk saat ujian tadi langsung
mengahmpiriku di kontrakan, yang jarak kontrakanku dengannya sangat dekat
bahkan bertetangga. Sebelumnya aku juga sudah sms dia dan memintanya untuk
membuatkan kopi, yang bubuknya asli buatan ibunya. Sepertinya hari ini Maya
terlihat sangat marah padaku, dia membawa secangkir kopi dengan raut wajah yang
menakutkan. “heh, wajahmu kok jelek gitu sih? Nakutin tau gak?”. Kataku sambil
ku acak-acak rambutnya. “woy, jangan sembarangan ngacak-acak rambut orang”.
Katanya dengan nada ketus. “hmm sorry”.
Kataku cuek sambil membereskan barang-barang yang akan aku bawa untuk camping bersama teman dan pacarku. “mau
kemana?” katanya semakin marah. “camping
dong”. Kataku santai. “ha? Berapa hari?”. Tanyanya lagi. “3 harian mungkin.
Kenapa mau ikut? Sorry ya mending gak usah deh. aku ngajak cewekku soalnya nanti
kamu ngerecokin lagi”. Kataku mencoba bercanda dengannya. Tapi dia terlihat
semakin marah “kamu itu gimana sih Tian? Tadi kan ujian akhir tapi kamu malah
bolos, terus ini mau camping tiga
hari pula? Gimana ujianmu? Pacaran aja yang kamu pikirkan. Gak ada bersyukurnya
deh kamu itu”. Katanya keras dan panjang lebar, sedikit memekakkan telinga.
“bodo amat”. Kataku santai, yang benar-benar sedang malas sekali berdebat
dengannya. “bodo kataku? Ayah ibumu itu mengkuliahkan kita disini untuk
banggain mereka bukan untuk pacaran”. Katanya. “aku gak suka kuliah disini, aku
gak suka jurusan ini, aku punya impian dan cita-cita sendiri. Semua yang aku
lakukan kemarin hanya keinginan mereka bukan aku. Oke mulai sekarang aku gak
mau kuliah lagi. Udah kamu gak usah urusin lagi hidupku, urus aja mimpimu, aku
juga akan berusaha menggapai mimpiku dengan jalanku sendiri. Kita lihat saja
nanti pasti aku bisa ke london. Ingat May”. Kataku mulai kesal. “oke, kita
buktikan siapa yang bisa ke London nanti”. Katanya sambil pergi dan sepertinya
air matanya menetes. Melihat dia pergi ada sedikit rasa kehilangan yang
kurasakan tapi aku janji aku akan buktikan padanya dan ayah serta ibu kalau aku
bisa sukses dengan caraku sendiri dan jalanku sendiri.
***
London, 2015
Kami
bernostalgia kejadian dimana kami berpisah. Aku ingat sekali waktu itu aku menangis,
entah aku menangis karena kata-katanya yang kasar atau karena aku kehilangan
dia, aku tak tahu. Tapi sejak saat itu, dia menghilang, tak lagi di kontrakan
dan juga tak lagi di kelas yang sama. Aku merindukan dia yang biasanaya
pagi-pagi sms aku untuk mengantarkan kopi kekontrakannya. Yah apa boleh buat
dia memilih untuk pergi, dan aku juga sudah berjanji, aku juga akan buktikan
bahwa aku bisa menggapai mimpiku. Aku harus berusaha. “eh kamu waktu itu
menangis ya May? Hayo ngaku?”. Pertanyaannya membuatku sedikit malu, kenapa dia bisa tahu? Batinku. “haha,
kamu kasar sih. Aku kan sensitif”. Kataku beralibi menyembunyikan perasaanku
yang sebenarnya. “hmm, maaf ya, aku emosi itu May”. Katanya merasa bersalah.
“iya gak apa Tian, kan itu udah berlalu”. Kataku mencoba mengembalikan suasana.
“May, jujur ya May, sejak saat itu aku merasakan kehilangan, kayak gak ada yang
nyerewetin aku lagi, marah-marahin aku kalau bolos kelas, dan terutama gak ada
yang bikinin kopi”. Katanya membuatku malu. “eh? Maksudmu aku ini cuma sebagai
pelayanmu yang kau suruh buatin kopi?” kataku sedikit menyembunyikan perasaan
kalau aku sebenarnya juga merasakan kehilangan. “haha, enggak gitu May, aku
kayak merindukanmu deh”. Katanya lagi yang membuatu sedikit girang. “haha alay
deh kamu”. Kataku berusaha bersikap biasa dan mengalihkan perhatian dengan
meneguk secangkir kopi. meski sebenarnya aku juga merasakan hal sama. Bagiku
masih terlalu dini untuk menganggapnya cinta, aku dan dia harus fokus pada
mimpi kami masing-masing. Setidaknya kini aku tak harus menahan rindu yang besar
lagi.
***
Tanpa sadar aku
mengucapkan kata-kata rindu lagi. Apa sebenarnya perasaanku ini? Entahlah, ini
masih terlalu dini, aku dan dia harus menyelesaikan dulu apa yang menjadi mimpi
kami disini, aku masih harus lebih banyak belajar melukis dan aku tahu dia juga
masih ingin fokus pada kuliahnya. Setidaknya kini aku menjadi lebih semangat
belajar, dan tak harus menahan rindu lagi. Maya,
Mari kita buktikan pada orang tua kita masing-masing kalau kita bisa sama-sama
sukses meski dengan jalan yang berbeda. Nanti kita pulang bersama-sama dan kita
bangun negara kita bersama. “hey senyum-senyum sendiri” katanya
mengagetkanku dari khayalan. “ah apaan sih”. Elakku sambil meneguk kopi panas
di musim dingin London yang indah ini.
(komentar bisa langsung kirim e-mail fitria.choirunnisa96@yahoo.com atau facebook vithree choirunniesa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar