MENU

Halaman

Rabu, April 20, 2016

Cerpen: The Great Winter in London




London, 2015
Hamparan salju yang indah menyambut pagiku di apartemen. Di luar sana sepertinya sedang turun salju, pertama kalinya aku melihat salju turun sepanjang  umurku yang sudah mencapai 25 tahun ini. Dulu aku bisa menyaksikan salju hanya dari film-film yang aku lihat dan kini aku sendiri merasakannya sungguh benar-benar tidak aku sangka. Ingin rasanya bermain salju diluar sana, namun suhu yang begitu dingin memintaku untuk tetap nyaman berada di dalam selimut. Ku amati setiap bulir salju yang turun dari balik jendela apartemen yang sudah hampir 3 bulan ini aku tempati. Dengan ditemani secangkir kopi panas yang sengaja aku bawa dari Indonesia, kopi asli buatan ibuku. Secangkir kopi ini sedikit menghangatkan tubuhku yang masih berbalut selimut dan juga berhasil mengingatkanku pada suasana di Indonesia, mengingatkanku pada ibuku dan seseorang yang sangat suka dengan kopi racikan ibuku. Ah, aku mulai rindu lagi padanya? Dimana sekarang dia ya? Bagaimana keadaannya sekarang ya? Aku harap kamu sehat. Semua hal sering mengingatkanku dengan lelaki itu, bahkan kota ini pun adalah salah satu impian kami berdua. Dan kami pernah berjanji, kami akan bisa pergi ke tempat ini meskipun dengan cara dan jalan masing-masing. Dan aku berhasil menepati janjiku, entah bagaimana dengan dia. Sudah hampir 5 tahun dia memutuskan pergi mencari jalannya sendiri dan mengikuti keinginannya, kita bukan sepasang kekasih, juga bukan sahabat, lebih tepatnya kami rival, rival yang cukup tangguh. Dan anehnya setelah kepergiannya aku rindu padanya, entahlah, yang jelas aku harap dia juga bisa menggapai mimpinya. Tanpa sadar aku berkata seperti itu.
Asyik bernostalgia membuatku lupa waktu, hari ini aku ada jadwal kuliah di kampus kebanggaanku yang dulu hanya impianku, kini kampus ini berhasil aku taklukkan. London School of Economics and Political Science (LSE), aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan dan mendapatkan gelar S2 ku disini melanjutkan ilmu akuntansi yang sudah aku pelajari di Universitas Negeri Malang. Suhu yang mencapai 14o C harus aku takhlukkan. Ku terjang suhu yang begitu menusuk tulang menuju tempat dimana biasanya aku menunggu trem yang akan mengantarkanku ke kampus. Tak beberapa lama menunggu trem pengantarku tiba. Kali ini terlihat cukup ramai sesak, yah apa boleh buat aku sudah hampir terlambat. Dengan tergesa-gesa memasuki trem, tanpa sengaja aku menabrak lelaki yang juga terlihat tergesa-gesa ingin masuk trem “I’m sorry”. Katanya dengan langsung membantu membereskan barang-barangku dan barang-barangnya yang terjatuh. Aku sedikit mengenali suara berat itu, ku beranikan diri menoleh melihat wajahnya dan ternyata dugaanku benar.
Setelah pertemuan tidak sengaja tadi di trem, kami bertukar nomor dan setelah selesai dengan kuliah masing-masing kami janjian bertemu untuk makan siang di salah satu cafe di kota. “kamu bisa kesini juga ternyata May?”. Katanya membuka percakapan dan sedikit terdengar meremehkanku. “apa maksudmu bilang seperti itu ya jelas bisa lah, aku yang gak percaya kamu bisa kesini”, balasku tak kalah tajam. “hei jangan salah aku sekarang bisa kuliah di Royal College of Art dengan biaya sendiri”. Jawabnya tak mau kalah. “hmm oke, I see, kamu hebat memang”. Kataku menyiyakan kesombongannya yang aku tahu jika nanti aku teruskan membanggakan diri sendiri antara kita tidak akan pernah berhenti. “hehe. Kamu juga hebat May, kamu sekarang di LSE kampus impianmu kan?, dapat beasiswa lagi”. Katanya yang kali ini sedikit memujiku. “hmm, gak nyangka ya kita bisa kesini meski dengan cara dan jalan masing-masing”. Kataku mencoba membuka nostalgia kami. “iya ya, dulu kita kan sama-sama ingin sekali ke kota ini, dan aku masih ingat lo janji kita waktu itu. Gak nyangka kita bisa menggapainya dan kita bisa bertemu disini”. Katanya terlihat bersemangat. “iya semua ini juga berkat ayah dan ibumu juga Tian. Eh iya bagaimana kabarnya ayah?” kataku memulai untuk bernostalgia.
***
Banjarmasin, 2008
“maaf permisi pak mau beli kue saya?”. Ku beranikan diri menghampiri dua orang yang terlihat kaya berharap mau memborong kue ku. Mereka berdua menoleh kearahku dan tersenyum ramah “oh, berapa harganya nak?” kata ibu-ibu yang terlihat sangat lembut. “seribuan bu, silahkan”. Kataku menawarkan daganganku. “ya sudah bu, beli semuanya aja” kata bapak-bapak di sampingnya yang langsung membuatku girang. “baiklah. Kami beli semuanya  ya nak?” kata ibu itu memperjelas. “oh baik bu, sebentar”. Tanpa pikir panjang, dan rasa bahagia yang tak terkira, aku membungkus semua kue yang tersisa. “nak, kamu masih muda, kenapa jualan kue?”. Kata bapak itu menghentikan gerakanku. Aku sedikit kaget “oh, ini nabung buat bisa pergi ke PTN pak, maklum kurang biaya”. Kataku santai. “oh, kamu rajin sekali, kalau boleh tahu, kamu pengen kuliah dimana?”. Kata ibu tadi terlihat penasaran. “pengen ke Universitas Negeri Malang pak, jurusan akuntansi”. Kataku. “oh disana, berapa NEM mu kemarin nak?” kata bapak di sebelahnya yang mulai penasaran juga. “Alhamdulillah, 58,9 pak”. Kataku sedikit malu-malu. “wah, kampir sempurna itu nak, pintar sekali kamu”. Kata ibu itu sambil mengelus pundakku. “Alhamdulillah bu, tapi, apa gunanya kalau gak punya uang, gak bisa dilanjutkan, maka dari itu ini saya sedang benar-benar berjuang untuk bisa menggapai mimpi saya”. Kataku sedikit terbawa suasana hampir menangis. “udah nak, begini saja alamat rumahmu mana, kami ingin bertemu orang tuamu dan kami mau meminta ijin membiayai mu sekolah di Malang”. Kata bapak itu tegas dan ibu itu mengelus pundakku. Aku tak percaya mendengar apa yang bapak itu katakan. Aku pandangi mata beliau juga ku pandangi ibu itu. Dan yang terlihat dimata mereka, jawaban sama, kalau benar-benar serius. Tak bisa mengatakan apa-apa lagi, aku hanya bisa menangis haru dengan apa yang dikatakan bapak itu.
***
London, 2015
Ada rasa yang tak bisa ku utarakan saat pertama bertemu dengan perempuan yang sudah 5 tahun ini membuatku merasakan rindu. Yang jelas aku bahagia dan terkejut, bisa bertemu dengannya tanpa sengaja dan kini dia ada di depanku sedang menceritakan bagaimana dulu dia bisa ikut campur dengan keluargaku. Dulu aku benci sekali dengannya, karena dia aku harus dipaksa ayahku untuk kuliah di jurusan yang aku sama sekali tidak suka.
Ayah dan ibu juga sering membanding-bandingkan aku dengannya, aku tidak suka hal itu. Tak mau dianggap remeh di depannya aku paksakan diri ikut apa yang diinginkan ayah, kuliah di Malang dan satu jurusan dengannya bahkan satu kelas. Dulu dia sangat cerewet, tapi kalau masalah pintar, dan rajin, dia memang juaranya. Dia sering mendapatkan nilai bagus dikelas, dan semakin membuatku jengkel. Diam-diam aku selalu berusaha menyainginya. Dan sepertinya dia waktu itu menyadari kalau aku sedang berusaha menyusulnya. Di kelas, kami selalu tidak pernah bisa akur, selalu saja ada aja yang menjadi perdebatan. “eh dulu kita rival banget ya Tian?”. Pertanyaannya menyadarkan aku dari pikiranku yang bernostalgia sendiri. “hmm, iya kata teman-teman kita itu kayak Tom and Jerry. Lucu deh, tapi itu yang buat aku kangen”. Tanda sadar aku mengucapkan kata yang tak ingin aku ucapkan. “eh? Apa maksudmu?”. Katanya menanyakan kejelasan. Bodoh kenapa ngomong gitu Tian. Kataku memaki diriku sendiri. “enggak apa-apa. Ingat gak kejadian waktu kita debat di kelas dulu?”. Kataku berusaha mengalihkan perhatian. “iya ingatlah. Kamu itu katanya gak suka ya ekonomi-ekonomi, tapi kamu lawan yang cukup tangguh bagiku dalam hal debat”. Katanya dengan ceria. “hehe, iyalah, aku kan gak mau kalah dihadapanmu”. Kataku jujur. “tapi kamu termasuk cerdas lo Tian. Kamu kan sering gak masuk kuliah, kerjaanmu kan cuma pacaran aja kan dulu?”. Katanya langsung membuatku malu. “masak sih? Iya deh kayaknya? Hehe dan kamu selalu cerewet bilang ini itu”. Kataku mengiyakan apa yang dikatakannya. “haha, itu sih aku cuma menjaga amanat dari ayah dan ibumu, aku kan disuruh jagain anak kesayangannya. Yah kalau aku waktu itu benar-benar cerewet maaf deh”. Katanya dengan nada bersalah. “apaan sih May, suantai deh. Justru karena itu aku bisa kayak gini”. Kataku langsung mengingatkanku kejadiaan tahun baru waktu itu.
***
Malang, 1 Januari 2010
Malam tahun baru tahun baru kedua ku di kota perantauan yang sejak awal aku kutuk, kenapa aku bisa berada disini dengan perempuan yang sangat menyebalkan ini. Seperti layaknya anak muda, tahun baru ingin bersenang-senang dan aku malam ini memutuskan untuk pergi bersama kekasihku. Sudah beberapa hari ini keinginanku untuk kuliah benar-benar sedang tidak ada, biasanya aku bersemangat karena aku ingin mengalahkan Maya, tapi kali ini entah kenapa sama sekali tak ada niatku untuk masuk kelas bahkan saat ujian akhir hari ini, aku malah memilih menyiapkan hal untuk pergi bersama teman-temanku dan kekasihku. Maya yang dasarnya sangat cerewet sejak awal, mengetahui aku tak masuk saat ujian tadi langsung mengahmpiriku di kontrakan, yang jarak kontrakanku dengannya sangat dekat bahkan bertetangga. Sebelumnya aku juga sudah sms dia dan memintanya untuk membuatkan kopi, yang bubuknya asli buatan ibunya. Sepertinya hari ini Maya terlihat sangat marah padaku, dia membawa secangkir kopi dengan raut wajah yang menakutkan. “heh, wajahmu kok jelek gitu sih? Nakutin tau gak?”. Kataku sambil ku acak-acak rambutnya. “woy, jangan sembarangan ngacak-acak rambut orang”. Katanya dengan nada ketus. “hmm sorry”. Kataku cuek sambil membereskan barang-barang yang akan aku bawa untuk camping bersama teman dan pacarku. “mau kemana?” katanya semakin marah. “camping dong”. Kataku santai. “ha? Berapa hari?”. Tanyanya lagi. “3 harian mungkin. Kenapa mau ikut? Sorry ya mending gak usah deh. aku ngajak cewekku soalnya nanti kamu ngerecokin lagi”. Kataku mencoba bercanda dengannya. Tapi dia terlihat semakin marah “kamu itu gimana sih Tian? Tadi kan ujian akhir tapi kamu malah bolos, terus ini mau camping tiga hari pula? Gimana ujianmu? Pacaran aja yang kamu pikirkan. Gak ada bersyukurnya deh kamu itu”. Katanya keras dan panjang lebar, sedikit memekakkan telinga. “bodo amat”. Kataku santai, yang benar-benar sedang malas sekali berdebat dengannya. “bodo kataku? Ayah ibumu itu mengkuliahkan kita disini untuk banggain mereka bukan untuk pacaran”. Katanya. “aku gak suka kuliah disini, aku gak suka jurusan ini, aku punya impian dan cita-cita sendiri. Semua yang aku lakukan kemarin hanya keinginan mereka bukan aku. Oke mulai sekarang aku gak mau kuliah lagi. Udah kamu gak usah urusin lagi hidupku, urus aja mimpimu, aku juga akan berusaha menggapai mimpiku dengan jalanku sendiri. Kita lihat saja nanti pasti aku bisa ke london. Ingat May”. Kataku mulai kesal. “oke, kita buktikan siapa yang bisa ke London nanti”. Katanya sambil pergi dan sepertinya air matanya menetes. Melihat dia pergi ada sedikit rasa kehilangan yang kurasakan tapi aku janji aku akan buktikan padanya dan ayah serta ibu kalau aku bisa sukses dengan caraku sendiri dan jalanku sendiri.
***
London, 2015
Kami bernostalgia kejadian dimana kami berpisah. Aku ingat sekali waktu itu aku menangis, entah aku menangis karena kata-katanya yang kasar atau karena aku kehilangan dia, aku tak tahu. Tapi sejak saat itu, dia menghilang, tak lagi di kontrakan dan juga tak lagi di kelas yang sama. Aku merindukan dia yang biasanaya pagi-pagi sms aku untuk mengantarkan kopi kekontrakannya. Yah apa boleh buat dia memilih untuk pergi, dan aku juga sudah berjanji, aku juga akan buktikan bahwa aku bisa menggapai mimpiku. Aku harus berusaha. “eh kamu waktu itu menangis ya May? Hayo ngaku?”. Pertanyaannya membuatku sedikit malu, kenapa dia bisa tahu? Batinku. “haha, kamu kasar sih. Aku kan sensitif”. Kataku beralibi menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. “hmm, maaf ya, aku emosi itu May”. Katanya merasa bersalah. “iya gak apa Tian, kan itu udah berlalu”. Kataku mencoba mengembalikan suasana. “May, jujur ya May, sejak saat itu aku merasakan kehilangan, kayak gak ada yang nyerewetin aku lagi, marah-marahin aku kalau bolos kelas, dan terutama gak ada yang bikinin kopi”. Katanya membuatku malu. “eh? Maksudmu aku ini cuma sebagai pelayanmu yang kau suruh buatin kopi?” kataku sedikit menyembunyikan perasaan kalau aku sebenarnya juga merasakan kehilangan. “haha, enggak gitu May, aku kayak merindukanmu deh”. Katanya lagi yang membuatu sedikit girang. “haha alay deh kamu”. Kataku berusaha bersikap biasa dan mengalihkan perhatian dengan meneguk secangkir kopi. meski sebenarnya aku juga merasakan hal sama. Bagiku masih terlalu dini untuk menganggapnya cinta, aku dan dia harus fokus pada mimpi kami masing-masing. Setidaknya kini aku tak harus menahan rindu yang besar lagi.
***
Tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata rindu lagi. Apa sebenarnya perasaanku ini? Entahlah, ini masih terlalu dini, aku dan dia harus menyelesaikan dulu apa yang menjadi mimpi kami disini, aku masih harus lebih banyak belajar melukis dan aku tahu dia juga masih ingin fokus pada kuliahnya. Setidaknya kini aku menjadi lebih semangat belajar, dan tak harus menahan rindu lagi. Maya, Mari kita buktikan pada orang tua kita masing-masing kalau kita bisa sama-sama sukses meski dengan jalan yang berbeda. Nanti kita pulang bersama-sama dan kita bangun negara kita bersama. “hey senyum-senyum sendiri” katanya mengagetkanku dari khayalan. “ah apaan sih”. Elakku sambil meneguk kopi panas di musim dingin London yang indah ini.


(komentar bisa langsung kirim e-mail fitria.choirunnisa96@yahoo.com atau facebook vithree choirunniesa)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Review Drama : Happiness

  Detail Drama: Happiness Revised romanization: Happiness Hangul: 해피니스 Director: Ahn Gil-Ho Writer: Han Sang-Woon Network: tvN, TVING Episod...